PARIS - Sebuah studi mengenai efektivitas langkah-langkah iklim baru-baru ini, seperti pajak atau subsidi dalam mengurangi gas rumah kaca menemukan upaya yang terpisah akan gagal membuat perubahan besar.
Diterbitkan dalam jurnal Science pada 22 Agustus, studi tersebut meneliti kebijakan publik selama 25 tahun di 41 negara di enam benua. Di Asia, negara-negara tersebut meliputi India, Tiongkok, Jepang, dan Indonesia.
"Dari 1.500 kebijakan yang dianalisis di berbagai sektor termasuk energi, transportasi, dan konstruksi, hanya 63 kasus kebijakan iklim yang berhasil, yang masing-masing menghasilkan pengurangan emisi rata-rata sebesar 19 persen, yang teridentifikasi," bunyi kesimpulan studi itu, seeprti dikutip dari The Straits Times.
"Para peneliti menunjukkan bahwa larangan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau mobil bermesin pembakaran tidak menghasilkan pengurangan emisi yang signifikan jika diterapkan secara terpisah," kata Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam atauPotsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang memimpin studi tersebut bersama Institut Penelitian Mercator tentang Commons Global dan Perubahan Iklim atauMercator Research Institute on Global Commons and Climate Change (MCC).
"Kasus-kasus yang berhasil hanya muncul bersamaan dengan insentif pajak atau harga dalam bauran kebijakan yang dirancang dengan baik, seperti yang ditunjukkan di Inggris untuk pembangkit listrik tenaga batu bara atau di Norwegia untuk mobil," kata para peneliti.
Pendekatan Inovatif
Studi ini menggunakan basis data baru dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atauOrganisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan pendekatan inovatif yang menggabungkan metode pembelajaran mesin dengan analisis statistik yang mapan.
"Laporan tersebut mengidentifikasi 63 intervensi kebijakan yang berhasil dengan total pengurangan emisi antara 0,6 miliar hingga 1,8 miliar ton CO2 (karbon dioksida)," katanya.
Di antara keberhasilan yang diidentifikasi adalah penerapan harga karbon minimum Inggris pada tahun 2013, subsidi untuk energi terbarukan, dan rencana penghapusan bertahap batu bara.
Para peneliti berharap pekerjaan mereka akan memengaruhi peta jalan iklim yang diperbarui negara-negara dan harus diserahkan kepada PBB paling lambat Februari 2025.
Peta jalan ini untuk menjaga tujuan utama Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius dari tingkat pra-industri.
Situs web interaktif, Climate Policy Explorer, memberikan gambaran umum tentang hasil, analisis, dan metode, dan dapat diakses oleh publik.
"Temuan kami menunjukkan lebih banyak kebijakan tidak selalu menghasilkan hasil yang lebih baik. Sebaliknya, kombinasi langkah yang tepat sangat penting," jelas penulis utama studi tersebut, Nicolas Koch dari PIK dan MCC.
"Misalnya, subsidi atau regulasi saja tidak cukup, hanya bila dikombinasikan dengan instrumen berbasis harga, seperti pajak karbon dan energi maka pengurangan emisi yang substansial dapat tercapai."
Namun Michael Grubb, ilmuwan dari University College London, mengatakan dengan berfokus pada sejumlah kecil perubahan tren yang signifikan secara statistik, para peneliti melewatkan "dampak dari ribuan upaya yang lebih kecil secara global, dan dampak kumulatif dan sering kali saling memperkuat dari banyak ukuran yang lebih kecil".
"Ini adalah studi paling canggih hingga saat ini. Kesimpulan mereka dampak besar memerlukan kombinasi kebijakan sangat masuk akal," tambahnya.
Pakar Robin Lamboll di Imperial College London berkata, studi ini hanya mencari kebijakan yang membuat pengurangan mendadak. "Sedangkan sebagian besar kebijakan iklim bekerja pada efisiensi hal-hal baru atau lintasan emisi jangka panjang, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun infrastruktur atau cara hidup yang lebih hijau."
Menurut Koch, pertanian dan perubahan tata guna lahan, sektor emisi utama, tidak dimasukkan dalam studi tersebut. Data yang baik yang menunjukkan pengurangan emisi karbon untuk sektor tersebut belum ada.
Selain itu, penelitian tersebut hanya mencakup dampak jangka pendek dan dampak di dalam negara tempat kebijakan tersebut diadopsi, kata Jessika Trancik, seorang profesor di Institut Teknologi Massachusetts.
"Namun dalam mitigasi perubahan iklim, kami peduli dengan dampaknya dalam skala global dan menurunkan emisi hingga nol, terlepas dari di mana pengurangan emisi dimulai," katanya.
"Jadi fakta bahwa 63 kasus terdeteksi memiliki dampak signifikan dalam jangka pendek saat kebijakan diadopsi, bukan berarti kebijakan lain tidak efektif."
Kabar baiknya adalah semua alat teknologi yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim kini sudah tersedia," kata Trancik.
"Dan siap diadopsi dalam skala besar karena banyaknya jenis kebijakan yang berbeda yang telah ada sebelumnya."