DEN HAAG -Para peneliti Belanda menemukan hasil diagnosis Chatbot kecerdasan buatan, ChatGPT terhadap pasien yang dilarikan ke unit gawat darurat (UGD), setidaknya sama dengan yang dibuat oleh dokter, dan dalam beberapa kasus mengungguli mereka. Studi itu mengatakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat "merevolusi bidang medis".

ChatGPT adalah sebuah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.

Namun, laporan pada Rabu (13/9) itu juga menekankan dokter di UGD tidak perlu lagi melakukan tindakan medis, karena chatbot berpotensi mempercepat diagnosis, tetapi tidak menggantikan penilaian dan pengalaman medis manusia.

Dikutip dari The Straits Times, para ilmuwan melakukan penelitian dengan memeriksa 30 kasus yang dirawat di layanan darurat di Belanda pada 2022, memasukkan riwayat pasien yang dianonimkan, tes laboratorium, dan pengamatan dokter sendiri ke ChatGPT, memintanya untuk memberikan lima kemungkinan diagnosis.

Mereka kemudian membandingkan daftar pendek chatbot dengan lima diagnosis yang sama yang disarankan oleh dokter UGD yang memiliki akses terhadap informasi yang sama, kemudian melakukan pemeriksaan silang dengan diagnosis yang benar dalam setiap kasus.

Dokter memiliki diagnosis yang benar di lima besar dalam 87 persen kasus, dibandingkan dengan 97 persen untuk ChatGPT versi 3.5 dan 87 persen untuk versi 4.0.

"Sederhananya, ini menunjukkan ChatGPT mampu menyarankan diagnosis medis seperti yang dilakukan dokter pada manusia," kata Hidde ten Berg, dari departemen pengobatan darurat di Rumah Sakit Jeroen Bosch, Belanda.

Bantu Petugas Medis

Rekan penulis Steef Kurstjens mengatakan survei tersebut tidak menunjukkan bahwa komputer suatu hari nanti dapat menjalankan UGD, namun AI dapat memainkan peran penting dalam membantu petugas medis yang berada di bawah tekanan.

"Intinya, chatbot tidak menggantikan dokter, tetapi dapat membantu dalam memberikan diagnosis dan mungkin dapat memberikan ide-ide yang belum terpikirkan oleh dokter," kata Kurstjens.

Model bahasa besar seperti ChatGPT tidak dirancang sebagai perangkat medis, tegasnya, dan juga akan ada masalah privasi saat memasukkan data medis rahasia dan sensitif ke dalam chatbot.

Dan seperti pada bidang lain, ChatGPT menunjukkan beberapa keterbatasan. "Alasan chatbot tersebut terkadang tidak masuk akal atau tidak konsisten secara medis, yang dapat menyebabkan misinformasi atau diagnosis yang salah, dengan implikasi yang signifikan," kata laporan tersebut.

Para ilmuwan mengakui beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut. Ukuran sampelnya kecil, dengan 30 kasus yang diperiksa. Selain itu, hanya kasus-kasus sederhana yang diteliti, di mana pasien hanya menunjukkan satu keluhan utama.

Tidak jelas seberapa baik kemampuan chatbot dalam menangani kasus-kasus yang lebih kompleks. "Kemanjuran ChatGPT dalam memberikan berbagai diagnosis berbeda untuk pasien dengan penyakit kompleks atau langka masih belum terverifikasi," ungkapnya.

Kurstjens menjelaskan kadang-kadang chatbot tidak memberikan diagnosis yang benar dalam lima kemungkinan teratasnya, terutama dalam kasus aneurisma perut, komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa ketika arteri aorta membengkak.

Laporan tersebut menguraikan apa yang disebut sebagai "bloopers" medis yang dibuat oleh chatbot, misalnya mendiagnosis anemia (kadar hemoglobin rendah dalam darah) pada pasien dengan jumlah hemoglobin normal. "Penting untuk diingat bahwa ChatGPT bukanlah perangkat medis dan ada kekhawatiran mengenai privasi saat menggunakan ChatGPT dengan data medis," ten Berg menyimpulkan.

Baca Juga: