Dari pada BI memberi dollar, lebih baik dollar itu ditampung pemerintah sendiri dengan menerbitkan obligasi dollar.

JAKARTA - Strategi tripple intervention Bank Indonesia (BI) untuk menjinakkan rupiah agar tidak terpuruk lebih dalam terbukti gagal. Sebab, kebijakan intervensi tersebut sudah dilakukan otoritas moneter itu saat rupiah masih berada di level 15.630 per dollar AS. Sementara itu, rupiah pada penutupan perdagangan Kamis (4/4) sudah berada di level 15.893 per dollar AS setelah sehari sebelumnya sempat terdepresiasi ke level 15.920 per dollar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, sebelumnya mengatakan pasar tidak perlu khawatir berlebihan karena BI telah melakukan kebijakan triple intervention. Triple intervention itu mencakup intervensi pasar spot dan Domestic Non-Delivery Forward (DNDF) tetap dilakukan untuk menenangkan pasar, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, yang diminta pendapatnya, mengatakan fenomena rupiah melemah mendekati Lebaran sama seperti Tahun Baru dan musim haji, di mana permintaan valuta asing khususnya dollar AS meningkat untuk kebutuhan barang-barang impor dan haji.

"Namun yang tidak biasa adalah nilainya yang hampir menembus 16 ribu rupiah per dollar AS, serta berlangsung hanya dalam beberapa hari," kata Leo.

Leo pun mengusulkan agar upaya BI menahan rupiah terdepresiasi lebih dalam tidak hanya sebatas intervensi, sebab intervensi otomatis menggerus devisa.

"Dari pada BI memberi dollar, lebih baik dollar itu ditampung pemerintah sendiri dengan menerbitkan obligasi bentuk dollar," katanya.

Pemerintah, jelasnya, perlu menerbitkan surat utang dengan pembagian keuntungan yang dapat menarik minat investor. Hal itu bisa melalui penerbitan surat utang berbasis dollar AS dengan yield atau imbal hasil yang lumayan untuk menarik investor yang hendak keluar dari rupiah. "Cara ini agar dana asing tetap di Indonesia sehingga menahan rupiah tidak jatuh lebih dalam," katanya.

Pada kesempatan berbeda, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan ada beberapa variabel untuk memperkuat rupiah terhadap dollar AS. Pertama, sesuai dengan "Purchasing Power Theorem" di mana tren inflasi jangka panjang Indonesia harus lebih rendah dari AS.

Kedua, penawaran dollar AS tidak mengalami penurunan secara drastis dan tidak ada lonjakan permintaan dollar secara drastis. Oleh sebab itu, kebijakan mengenai Devisa Hasil Ekspor harus berjalan efektif untuk meningkatkan penawaran dollar AS. Begitu pula cadangan devisa minimal harus mampu membiayai impor minimal untuk 5-6 bulan," katanya.

Suhartoko mengatakan akan lebih bagus lagi kalau ada sisa cadangan devisa yang cukup untuk intervensi pasar. BI perlu bekerja sama dengan bank sentral lain dalam memenuhi kebutuhan devisa dalam situasi darurat.

Sementara itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan untuk intervensi BI bisa lebih agresif terutama dalam melakukan intervensi melalui berbagai instrumen terutama instrumen baru, seperti Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI) dan juga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

"Dua instrumen ini saya kira masih akan memainkan peran penting untuk intervensi nilai tukar rupiah agar tidak terdepresiasi kembali," katanya.

Selain itu, momentum permintaan dollar juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan impor. Artinya, ketika dollar itu menguat maka sebaiknya impor terutama yang dilakukan oleh pemerintah bisa ditunda sementara waktu untuk dialihkan ke waktu di mana periode nilai tukar rupiah itu tidak sedang tertekan.

"Terakhir, saya kira upaya pemerintah melalui kebijakan devisa hasil ekspor juga perlu diperkuat, terutama dari sisi reward yang perlu di review secara berkelanjutan untuk menilai kebijakan tersebut sudah berjalan optimal atau belum," katanya.

Beralih ke Produk Lokal

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah perlu melakukan antisipasi dengan meniru strategi pemerintah AS merespons kontraksi ekonomi akibat melemahnya sektor jasa di negara ekonomi terbesar itu misalnya tapering off," kata Badiul.

Pemerintah juga perlu memperkuat ekonomi domestik dengan mengurangi pembelian barang-barang impor agar rupiah menguat karena konsumen beralih membeli produk dalam negeri atau produk lokal.

"Masyarakat juga harus didorong agar tidak menimbun atau membeli dollar, tetapi mengimbau mereka tetap menggunakan rupiah sebagai alat transaksi," tutup Badiul.

Baca Juga: