Strategi GX (Green Transformation) hanyalah solusi palsu terhadap langkah transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

JAKARTA - Para pegiat lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mendesak pemerintah Jepang segera menghentikan upaya mempromosikan solusi palsu untuk memperpanjang umur penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil.

Langkah Jepang mempromosikan berbagai teknologi seperti co-firing hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta penggunaan Liquid Natural Gas (LNG) untuk investasi sektor energi atau yang mereka sebut Strategi GX (Green Transformation) hanyalah solusi palsu terhadap langkah transisi.

Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi dari Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore, menerangkan Strategi GX tengah didorong Jepang untuk diterapkan di negara berkembang di Asia. Di Indonesia, Japan International Cooperation Agency (JICA) mengembangkan peta jalan untuk mencapai "netralitas karbon" pada 2060 bagi Indonesia.

Untuk mencapai peta jalan tersebut, telah diusulkan penggunaan amonia, hidrogen, dan LNG (dengan CCS) sebagai tiga bahan bakar utama, dengan memprioritaskan penggunaan co-firing amonia dan biomassa pada PLTU batu bara sebagai target jangka pendek, sedangkan pemakaian hidrogen diharapkan akan menyumbang sebagian besar bauran energi listrik setelah 2051. Sejumlah korporasi Jepang telah mengumumkan studi kelayakan proyek semacam itu sehingga bisa dijalankan di Indonesia.

"Strategi GX pemerintah Jepang ini hanya akan menunda upaya dekarbonisasi. Co-firing hidrogen dan amonia pada pembangkit listrik termal yang ada, misalnya adalah contoh utama dari apa yang disebut sebagai solusi palsu, karena selain tidak menurunkan total emisi dari sektor energi, co-firing pada PLTU termal hanya akan memperpanjang umur infrastruktur bahan bakar energi fosil," terang Fanny saat menggelar aksi di depan Kedutaan Jepang, di Jakarta, Selasa (1/11).

Dijelaskannya, studi kelayakan terkait penggunaan teknologi co-firing dan CCS/CCUS yang menyebabkan perpanjangan penggunaan bahan bakar fosil pada gilirannya akan mendorong pertambangan batu bara terus beroperasi, dan akan terus menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, dan lebih banyak bencana akan terjadi di Indonesia.

Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. (MHI), perusahaan di RI yang berinduk di Jepang misalnya, telah mengajukan proposal kepada pemerintah Indonesia untuk penerapan co-firing biomassa di PLTU-PLTU batu bara yang ada, di mana PLTU Suralaya (unit 2) di Banten akan dijadikan sebagai lokasi studi percontohan.

Selain itu, studi kelayakan co-firing amonia di PLTU Suralaya juga tengah dikerjakan oleh MHI, Mitsubishi Corporation, dan Nippon Koei Co, Ltd atas perintah Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang.

Pengkampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan komitmen nol emisi dan penghentian pembangunan PLTU batu bara baru harusnya dibarengi dengan upaya transisi energi nonfosil.

Selain itu, baru-baru ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga sudah memutus bersalah pemerintah terkait polusi udara. PLTU batu bara di sekitar Jakarta sendiri turut menjadi penyebab buruknya udara di Jakarta.

"Harusnya putusan tersebut dipatuhi setiap lembaga negara terkait dengan mengendalikan pencemaran udara, salah satunya di sektor energi," katanya.

Tanggung Jawab Bersama

Muhammad Aminullah mengingatkan pemerintah RI dan Jepang memiliki tanggung jawab yang masuk akal untuk memastikan pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia, terutama pada sistem grid Jawa-Bali, yang mana PLN memperkirakan reserve margin-nya telah mencapai 40-60 persen (2021-2030).

Peneliti Center of economic and law studies (Celios), Akbar Fadzkurrahman, mengkhawatirkan masuknya solusi palsu soal teknolgo co-firing ini dalam rancangan undang-undang energi baru dan terbarukan (EBT) yang tengah disusun.

"Kita berharap agar itu tidak terjadi, apalagi rencananya nuklir juga dimasukan ke dalam RUU tersebut," pungkasnya.

Baca Juga: