Pemerintah perlu menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya mengingat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan dilewati garis khatulistiwa.

Jakarta - Energi fosil yang dipakai dalam revolusi industri di Indonesia mendorong peningkatan produksi karbon dioksida (CO2) dan emisi gas rumah kaca. Karenanya, Indonesia perlu secepatnya melakukan transformasi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).

"Kunci dari revolusi industri adalah energi dan energi yang mendorong terjadinya karbon dioksida dan green house gas adalah fosil fuel. Batu bara, minyak bumi, gas alam adalah kunci dari sumber energi yang dipakai dalam industrialisasi menjadi dominan di dalam pembangunan Indonesia," kata Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim di Jakarta, Jumat (2/7).

Penggunaan energi fosil dalam banyak proyek pembangunan nasional itu menjadikan Indonesia masuk ke dalam peringkat lima besar penghasil karbon dioksida terbesar di dunia.

Karenanya, Emil Salim menyarankan agar strategi pembangunan berbasis energi fosil diganti dengan energi terbarukan. Menurutnya, perubahan iklim akibat penggunaan energi fosil menyebabkan pemanasan global yang berdampak terhadap kenaikan muka air laut dan efeknya banyak pulau-pulau kecil akan tenggelam di masa depan.

"Strategi energi berbasis fossil fuel yakni minyak bumi, batu bara, gas alam dan sebagainya harus kita ganti," kata Emil.

Lebih lanjut Emil menyarankan matahari menjadi sumber utama untuk menghasilkan listrik. Sebab, Indonesia berbasis kepulauan dan negara tropis yang dilewati garis khatulistiwa.

Pangsa pasar EBTglobal diproyeksikan meningkat pesat hingga 50 persen pada 2035 dan kembali melonjak sampai 75 persen pada 2050. Laporan Global Energy Perspective dari McKinsey (2019) memprediksi pembangkit listrik tenaga batubara serta minyak bumi akan turun drastis digantikan dengan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, dengan biaya yang lebih relatif rendah.

The International Renewable Energy Agency (IRENA) memproyeksikan pada 2030, konsumsi batubara turun hingga 41 persen dan berlanjut hingga pada 2050 hingga 87 persen. Untuk konsumsi minyak bumi, diperkirakan turun hingga 31 persen pada 2030 dan berlanjut hingga 70 persen pada 2050.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis tenaga surya akan mendominasi kenaikan angka pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pembangkit. Karena itu, pemerintah berencana menambah kapasitas pembangkit EBTsebesar 38 megawatt (MW) sampai 2035.

Ramah Lingkungan

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPRDyah Roro Esti meminta pemerintah merumuskan kembali strategi terkait kelistrikan karena proyek 35.000 megawatt masih didominasi dari pembangkit bertenaga batu bara.

"Kita perlu mengembangkan strategi ke depan karena saat kita berbicara mengenai listrik supaya itu bisa bersumber dari bahan-bahan ramah lingkungan, sekaligus bagian dari komitmen kita pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Kesepakatan Paris," kata Dyah.

Secara terpisah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) juga turut berupaya menekan penggunaan energi kotor. Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Eko SACahyanto menyebut pemerintah berkomitmen menurunkan emisi GRKsebagai dukungan terhadap komitmen global dalam menjaga kenaikan temperatur global.

Baca Juga: