Lewat aplikasi sensor cuaca dan tanah, startup yang didirikan Bayu Nugroho dapat membantu petani menghadapi perubahan iklim. Ia pun raih Hermes Startup Award senilai 10.000 euro.
BERLIN - Hannover Messe untuk pertama kalinya mengadakan kategori Startup Hermes Award pada 2020. Dewan Juri yang diketuai Prof. Dr. Reimund Neugebauer, Presiden Pusat Penelitian Frauenhofer-Gesellschaft memilih startup PT. Mitra Sejahtera Membangun Bangsa asal Indonesia, yang memiliki konsep Smart Farming 4.0, sebagai pemenang pertama Hermes Award kategori Startup pada 2020.
Meski penghargaan dimenangkan pada 2020, namun pemberian piala dan hadiah rencana awal akan diberikan pada seremoni pembukaan Hannover Messe 2021.
Startup Indonesia itu mengembangkan konsep yang memberi jalan keluar bagi petani dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Caranya adalah dengan menggunakan alat sensor dan aplikasi, yang memberikan informasi yang dapat membantu petani untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk mengurangi pemakaian pupuk dan air.
Bayu Dwi Apri Nugroho, 40 tahun, dosen Universitas Gajah Mada jurusan teknologi pertanian adalah sosok yang berada di balik pengembangan aplikasi tersebut. Ia sudah meneliti tentang perubahan Iklim dari data sekunder sejak 1980, saat perubahan iklim mulai terasa dampaknya.
Bayu mengamati bahwa sejak 1980, banyak petani mengalami gagal tanam, gagal panen, serta penurunan produktivitas lahan. Ternyata, masalah utamanya adalah informasi terhadap cuaca yang tidak sampai menyentuh level desa, terutama para pengelola lahan. Infomasi utama selalu didapatkan dari BMKG dan beberapa aplikasi cuaca. Informasi ini pun hanya sampai pada level kecamatan. Padahal, menurutnya, dengan jarak 2 hingga 3 kilometer saja, cuaca bisa berbeda. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk mencari cara untuk membantu petani.
Menurut Bayu, banyak petani yang belum mengerti tentang perubahan iklim. Bila ditanya tentang musim hujan yang berkepanjangan misalnya, mereka selalu berpendapat bahwa hal itu adalah hal yang biasa, salah musim. Akhirnya Bayu dan timnya merancang teknologi sensor untuk cuaca dan tanah.
"Saya menyebutnya AWS (Automatic Weather Sensor) yang dipasang di lahan. Setelah di pasang di lahan, ternyata petani tidak butuh sensor tersebut. Yang dibutuhkan petani adalah kepastian, apakah besok hujan atau cerah," tutur Bayu seperti dilansir Deutsche Welle, Sabtu (17/4).
Sensor yang mengambil data real time ini berperan sebagai alat pengumpul data, mulai dari data cuaca, hujan, suhu, kelembaban, kekuatan angin dan arah mata angin. Dari data tersebut, Bayu mengembangkan algoritma yang dapat membantu menerjemahkan data menjadi informasi yang mudah dipahami oleh petani.
"Hasil algoritma tadi dikaitkan dengan pertumbuhan komoditas yang sedang ditanam oleh petani," ungkap pendiri startup PT. Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB) itu.
Awalnya, informasi tersebut dikirim kepada ketua kelompok petani dengan menggunakan pesan singkat SMS. Ternyata informasi tersebut sangat bermanfaat untuk menghindari gagal tanam dan gagal panen, sehingga produktivitas pertanian pun meningkat.
"Dari 8 ton padi per hektare menjadi 12 ton per hektare," tutur lulusan Universitas Iwate, Jepang itu.
Pada 2018 pun Bayu mendirikan startup dan mengembangkan aplikasi untuk gawai pintar. Ada dua sensor yang ia ciptakan. Pertama adalah sensor cuaca dan tanah. Sebelum memasang sensor ini, Bayu dan timnya mengumpulkan data yang mencakup kebiasaan petani setempat, jenis pupuk yang digunakan, jumlah dosis yang diberikan, serta waktu pemupukan. Semua data dimasukan dalam variabel, yang nantinya akan menjadi bahan rekomendasi bagi petani.
Dengan sensor tersebut maka dapat diketahui berapa banyak lagi pupuk yang harus ditambahkan, sehingga petani hanya memberikan pupuk sesuai dengan kekurangannya. Bayu mengaku, bahwa mereka memberikan rekomendasi tergantung kearifan lokal daerah tersebut. Di beberapa kasus seperti lahan pertanian bawang merah, penggunaan pupuk bahkan dapat direduksi hingga 50 persen. Saat pupuk langka, teknologi ini bisa sangat menguntungkan para petani.
Sensor ini dapat menangkap data dalam radius 100 hektare untuk lahan hamparan. Namun, untuk lahan bentuk teras atau bukit, maka sensor yang dibutuhkan lebih banyak. Pemasangan sensor pun harus melalui prosedur pemeriksaan jenis tanah, sehingga tidak bisa dipasang secara sembarangan.
Sensor lainnya adalah sensor debit air di saluran irigasi. "Sensor ini menghitung debit di saluran tersier yang masuk lahan itu berapa, kita cocokan dengan fase pertumbuhannya. Misalnya pada padi. Pada fase awal, membutuhkan banyak air, dan saat mendekati musim panen, sebaiknya tidak dialiri air karena akan mempengaruhi kualitas panen," papar Bayu.
Teknologi sensor cuaca dan tanah ini membutuhkan dana sekitar 30 puluh juta rupiah, yang sudah mencakup aplikasi, algoritma, rekomendasi, dan notifikasi. Dibandingkan dengan sensor lain yang harganya mencapai seratus juta rupiah, namun konsumen biasanya hanya mendapatkan data mentah. Sensor ini juga diklaim dapat bertahan sekitar dua tahun. Namun, menurut Bayu, penggunaan sensor ini menghadapi tantangan seperti pencurian atau dirusak anak-anak yang bermain di sawah.
Saat ini sudah ada 115 sensor yang dipasang di berbagai lahan di seluruh indonesia. Sensor terjauh dipasang di Manokwari, Papua, untuk tanaman padi.
"Kami tidak menjual sensor secara putus, karena itu bukan solusi. Kami merancang ini untuk satu ekosistem atau kluster, makanya kami bekerja sama dengan Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia dan beberapa kementerian karena mereka memiliki kelompok-kelompok petani binaan," ujar doktor di bidang agro klimatologi dan perubahan iklim tersebut.
Komoditas yang menggunakan sensor ini mencakup padi, jagung, bawang merah, kopi dari Sumatra Utara, temu lawak dari Sukabumi, cabai, dan kedelai.
"Sensor ini untuk semua komoditas, dapat diset untuk komoditas apa saja, yang berpengaruh pada hasil rekomendasinya. Survei, sosialisasi dan rekomendasi itu sangat penting," ungkap Bayu lebih lanjut.
MSMB dibantu olah sekitar 50 hingga 60 pekerja. 10 di antaranya adalah ahli di bidang sensor. Namun untuk mengadakan pelatihan bagi kelompok petani, MSMB bekerja sama dengan kementerian pertanian setempat. Dalam setiap pelatihan, Bayu selalu mensyaratkan dua hal, yakni petani wajib mengikutsertakan anggota keluarga seperti anak, cucu atau keponakan mereka.
"Petani sekarang kebanyakan berusia di atas 50 tahun. Mereka kebanyakan tidak update dengan teknologi smartphone. Pasti ada anggota keluarga yang mengerti penggunakaan internet yang terhubung dengan smartphone," paparnya menjelaskan mengapa keikutsertaan anak muda menjadi tuntutan.
Itu pula yang mendorongnya mengajukan syarat kedua, yakni melibatkan kelompok Karang Taruna setempat.
"Misi saya adalah mengembangkan minat anak-anak muda untuk terjun ke dunia pertanian. Saya ingin menunjukkan pada mereka bahwa pertanian masa kini sudah menggunakan teknologi. Di beberapa lokasi, hal ini efektif dan mulai banyak anak-anak muda yang terjun ke dunia pertanian walaupun mereka juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu menjadi pengemudi ojek online. Mereka sangat sering memeriksa gadget mereka untuk menerima panggilan ojek online. Di situlah app kami juga sering memberi pengingat atau reminder seperti besok cerah, baik untuk pemupukan lahan. Untuk itu, mereka istirahat sebagai pengemudi ojek untuk memupuk lahannya," ucap dia.
Sejauh ini, MSMB tengah menjalankan sekitar 115 proyek pertanian di seluruh Indonesia yang melibatkan sekitar 15.000 petani. Bayu mengamati bahwa petani generasi sebelumnya selalu beranggapan mereka harus selalu berada di lahan, padahal tidak.
"Dengan teknologi aplikasi ini, generasi petani muda bisa membagi waktunya dengan lebih efektif," tuturnya menjelaskan manfaat aplikasi yang dinamai RiTx Bertani tersebut.
Meski begitu, Bayu beranggapan penggunaan teknologi terkini memang penting, namun bukan berarti meninggalkan kearifan lokal di masing-masing lokasi. "Kearifan lokal merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari pertanian," katanya.
Namun tak hanya di bidang pertanian, MSMB juga mengembangkan aplikasi untuk membantu para petambak dan peternak sapi.
Sejak resmi menjadi startup pada 2018, MSMB langsung menang di ajang startup core dari Kementerian Perindustrian. MSMB pun diikutsertakan dalam berbagai lomba dan award di seluruh dunia. Sejak itu, berbagai perusahaan seperti dari Thailand, Malaysia menghubungi MSMB untuk berinvestasi. Pejabat pemerintahan di Kunming, Tiongkok dan India juga tidak ketinggalan. Mereka ingin membeli sensor dan teknologi buatan MSMB, serta mengincar algoritma yang telah dipatenkannya, namun Bayu masih ragu untuk menindaklanjuti kerja sama tersebut.
Seremoni penghargaan kemenangan MSMB di Hannover Messe telah dilaksanakan secara daring pada acara Hannover Messe Digital Days, pada Selasa, 14 Juli 2020. Pada website Hannover Messe, dicantumkan bahwa pemberian piala dan hadiah akan diberikan pada seremoni pembukaan Hannover Messe 2021. Namun, hingga pameran tersebut berakhir pada Jumat, 16 April 2021, pemberian hadiah kepada pemenang atau perwakilan pemenang tidak terlaksana.
"Kami belum menerima tropi maupun hadiah uang senilai kurang lebih 10.000 euro. Kami akan menghubungi Hannover Messe setelah ajang ini berakhir pekan ini," kata Bayu mengonfirmasi kondisi tersebut. Ia juga mengaku bahwa sebetulnya sudah diagendakan untuk berangkat ke Jerman untuk berpartisipasi pada pameran teknologi tersebut, namun akibat pandemi korona, ia batal berangkat ke Jerman. DW/I-1