Kerajaan Sriwijaya sering disebut sebagai thalassocracy yang artinya negara maritim. Kerajaan iniberkembangnya antara abad ke-7 dan ke-13 Masehi dengan lokasi berada di tepi Sungai Musi.

Sriwijaya menguasai Pulau Sumatra dan memperluas pengaruhnya hingga Pulau Jawa serta
Semenanjung Malaya. Meskipun penguasa Sriwijaya menggunakan penaklukan untuk memperluas pengaruh kerajaan, namun hal itu bukan metode utama.
Kerajaan tersebut tumbuh kuat lebih karena perdagangan bukan karena penaklukan secara militer. Hal ini berbeda dengan Kerajaan Majapahit yang timbul setelahnya, yang lebih agresif menaklukkan kerajaan lain untuk tunduk padanya.
Dari sisi nama, Sriwijaya adalah kombinasi dari dua kata Sansekerta yaitu shri yang berarti bersinar atau bercahaya, dan vijaya yang berarti kemenangan atau keunggulan.
Untuk mengenali Sriwijaya selain dengan prasasti, juga memanfaatkan dokumen catatan berita dari Tiongkok. Dalam tulisan, I Ching, seorang peziarah Tiongkok dan biksu yang hidup pada masa Dinasti Tang, melaporkan bahwa pada 671 M, ia berlayar dengan kapal Persia, dari pelabuhan Guangfu sekarang dikenal sebagai Guangzhou menuju India. Tujuannya adalah universitas Buddhis yang terkenal di Nalanda, Bihar, bagian timur India saat ini. Di sini ia ingin memperdalam studinya tentang agama Buddha.
Jika pada pendahulunya pergi ke India melalui jalur darat, I Ching memutuskan untuk melakukan perjalanan ke India melalui laut. Jalur darat yang mengharuskan melintasi Asia tengah dan Himalaya, bukanlah pilihan pada saat itu, karena sedang terjadi gejolak politik di Tibet dan Afghanistan.
Meskipun catatan perjalanan I Ching kurang menarik perhatian para cendekiawan dibandingkan dengan Fa Xian dan Xuan Zang, namun menjadi sumber informasi utama bagi sejarah Sriwijaya. Apalagi orang-orang Sriwijaya tampaknya tidak banyak menulis tentang diri mereka sendiri atau jika memang sering menulis catatan-catatannya tidak pernah diketahui.
Bagaimanapun, setelah 22 hari berlayar, I Ching tiba di tempat yang ahli duga sebagai Palembang saat ini. Di sini ia tinggal disana selama enam bulan, belajar tata bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu. Dari sini para sarjana menyimpulkan Sriwijaya adalah pusat utama beasiswa Buddhis di wilayah tersebut.
I Ching sendiri melaporkan bahwa Sriwijaya adalah rumah bagi lebih dari seribu sarjana Buddhis. Setelah tinggal di Palembang, I Ching melanjutkan perjalanannya, menghabiskan satu tahun belajar bahasa Sansekerta di vihara Buddha di Pelabuhan Tamralipti yang berlokasi di delta Sungai Gangga, sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Nalanda.
I Ching tinggal di Nalanda selama 11 tahun. Sebuah waktu yang cukup lama sebelum kembali ke Tiongkok melalui jalur laut. Dalam perjalanan kembali, ia berhenti di Sriwijaya lagi, dan kali ini tinggal di Palembang selama sekitar delapan tahun.
Selama periode ini, biksu tersebut menerjemahkan manuskrip yang telah dikumpulkannya di Nalanda, dan menyelesaikan dua karya yang sangat penting yaitu Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan dan Catatan Pendeta-pendeta yang Menuntut Ilmu di India pada Zaman Dinasti Tang. Kedua karya ini dikirim ke Tiongkok dari Sriwijaya pada tahun 692 M.

Prasasti Batu
Dalam catatan I Ching pada 689 M disebutkan bahwa ia kehabisan tinta dan kertas yang ternyata tidak tersedia di Sriwijaya dan ia meminta kedua benda itu melalui surat yang dikirimkan ke Tiongkok.
Tidak tersedianya tinta dan kertas di Sriwijaya agaknya agak aneh mengingat Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran agama Buddha sehingga menimbulkan spekulasi bahwa Sriwijaya tidak memiliki sistem tulisan dan oleh karenanya tidak membutuhkan alat tulis tersebut.
Namun anggapan ini tidak benar, karena sejumlah prasasti batu telah ditemukan di Palembang. Selain di Palembang, prasasti batu Sriwijaya juga ditemukan di bagian selatan Sumatra. Anehnya, prasasti semacam itu tidak ditemukan di bagian lain wilayah di mana Sriwijaya memberikan pengaruhnya, termasuk bagian utara Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Contoh prasasti batu tentang Sriwijaya adalah prasasti Talang Tuo yang ditemukan pada 1920 oleh Louis Constant Westenenk di kaki Bukit Siguntang di sekitar Palembang. Prasasti yang berangka tahun 684 M ini berisi 206 kata yang terbagi antara Melayu Kuno (117 kata) dan Sansekerta (89 kata), dan ditulis dalam aksara yang disebut 'Pallava.'
Prasasti ini didirikan Dapunta Hyang Sri Jayanasa dalam rangka memperingati pendirian taman umum yang disebut Sriksetra untuk kesejahteraan semua makhluk hidup. Prasasti Talang Tuo bukan satu-satunya prasasti batu yang didirikan oleh Sri Jayanasa. Faktanya, semua 10 prasasti batu utama Sriwijaya dibuat pada masa pemerintahannya.
Bagaimanapun, prasasti ini adalah sumber informasi berharga lainnya untuk sejarah Sriwijaya dan memberi pandangan orang dalam tentang negara, meskipun berasal dari versi penguasa. Isi prasasti Talang Tuo agak berbeda dengan prasasti batu lainnya, karena banyak diantaranya sebenarnya adalah sumpah setia kepada raja.
Prasasti lain yang tidak mengandung sumpah setia adalah Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683/2 M. Menurut prasasti ini, Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer dengan pasukan darat dan armada. Prasasti ini diinterpretasikan meski raja menguasai Palembang, namun bagian dalam pulau itu belum di bawah kendalinya. hay/I-1

Invasi Kerajaan Chola

Selama berabad-abad dari abad ke-7 dan ke-13 Masehi, Sriwijaya menjadi kekuatan besar di wilayah tersebut. Perluasan Sriwijaya ke Jawa dan Semenanjung Malaya berarti bahwa seluruh Selat Malaka berada di bawah kendalinya.
Ini pada gilirannya berarti bahwa negara memegang titik panas antara Tiongkok dan India di Jalur Sutra maritim. Sriwijaya menjadi kaya berkat pemungutan pajak atas kapal dagang yang berlayar melalui wilayahnya. Selain itu, dokumen dari Arab dan Tiongkok mencatat bahwa Sriwijaya adalah sumber hasil hutan dan aromatik.
Karena barang-barang berharga ini ditemukan di pedalaman Sumatra, Sriwijaya perlu mengerahkan pengaruhnya di daerah dalam untuk membawa barang-barang komoditas itu dapat dibawa ke pelabuhannya. Keperkasaan Sriwijaya juga terasa di luar Pulau Sumatra. Misalnya, penguasa Sriwijaya memberikan pengaruh mereka pada kerajaan tetangga yang lebih kecil seperti dinasti Syailendra di Jawa Tengah, yang menugaskan pembangunan Borobudur.
Namun, kekayaan Sriwijaya tidak bertahan lama. Pada 1025, Rajendra Chola I, penguasa Dinasti Chola di Tamil Nadu, India selatan, melancarkan ekspedisi militer melawan Sriwijaya. Salah satu pelabuhan utama mereka, Kedah, yang berada di bagian utara Semenanjung Malaya, berhasil direbut dan diduduki selama beberapa waktu. Dalam dua dekade berikutnya, Chola melakukan serangan di Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya mampu menangkis penjajah, mereka sangat lemah. Invasi Chola adalah peristiwa yang sangat penting dalam sejarah wilayah ini sehingga ingatan akan insiden ini disimpan dalam Sejarah Melayu, meskipun dalam versi yang kacau-balau.
Dalam karya sastra yang disusun di Malaka pada abad ke-15/16 ini, Raja Chola dikenal sebagai Raja Chulan. Dia dikatakan sebagai penguasa yang kuat yang kerajaannya membentang dari timur ke barat, tidak termasuk Tiongkok. Oleh karena itu, Raja Chulan ingin menaklukkan Tiongkok dan mempersiapkan ekspedisi militer untuk tujuan itu.
Ketika Raja Chulan tiba di Temasik atau Singapura saat ini, berita tentang invasinya sampai ke kaisar Tiongkok, yang memanggil menteri-menterinya untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Perdana menteri menyarankan agar dengan kapal rusak yang diawaki oleh pria tua dikirim untuk menemui Raja Chulan di Temasik. Beberapa pohon yang berbuah ditempatkan di kapal.
Ketika kapal tiba di Temasik, orang-orang itu dihadapkan ke Raja Chulan, yang menanyakan jarak pulau itu ke Tiongkok. Orang-orang itu menjawab bahwa ketika pergi ke Tiongkok, benih di kapal yang tumbuh di kapal akan telah menjadi buah ketika sampai. Ketika Raja Chulan mendengar jawaban mereka, dia membatalkan rencananya untuk menyerang Tiongkok.
Melemahnya Sriwijaya sebagai akibat dari invasi Chola berarti bahwa cengkeramannya atas kekuatan regional lainnya telah mengendur. Namun demikian, dalam dua abad berikutnya, Sriwijaya terus mendominasi wilayah tersebut walau invasi Chola juga membuat Palembang mengalami kemunduran.
Kemunduran ini dipercepat oleh perubahan rute perdagangan selama abad ke-11. Akibatnya, kota lain, Jambi, yang terletak lebih jauh ke utara Palembang, menjadi kota utama Sriwijaya. Hal ini terlihat dalam dokumen Tiongkok, yang mencatat bahwa antara 1079 dan 1088, Sriwijaya mengirim duta besar dari Palembang dan Jambi. hay/I-1

Baca Juga: