Pelukis Srihadi Soedarsono memaknai melukis sebagai catatan perjalanan kehidupannya di atas kanvas. Perjalanan tersebut merupakan hasil perenungan terhadap segala peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupannya. Seperti saat kanak-kanak, dia terkenang sawah membentang tanpa ujung di daerah Delanggu, Jawa tengah.
Pengalaman menyentuh begitu mendalam ketika melihat masyarakat kelaparan di sepanjang jalan menuju Bandara Kemayoran saat akan berangkat studi ke Amerika Serikat pada 1959. Yang baru saja terjadi, banjir yang melanda Jakarta awal Januari 2020. Semua menjadi catatannya di atas kanvas.
Cara tersebut pula yang dilakukan dalam memaknai lukisan lanskap. Konsep yang secara harafiah berarti pemandangan alam tersebut bukan sekadar pemandangan penuh estetika untuk menarik para wisatawan. Melainkan, pemandangan kehidupan yang terjadi di sekitarnya, baik di perairan, daratan sampai udara.
Srihadi juga bercerita tentang rencananya menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional, Jakarta pada 11 Maret - 9 April 2020. Pameran bertema The Dialogue of The Spiritual Experience: Man and Universe ini sempat tertunda setahun.
Untuk mengetahui proses dalam berkaryanya dan rencana menggelar pameran tunggal, wartawan Koran Jakarta, Dini Daniswari dan Teguh Raharjo berkesempatan mewawancarai maestro pelukis di Tanah Air, Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, di halaman belakang rumahnya yang asri di Jalan Ciumbuleuit No 173, Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/1). Berikut petikan selengkapnya.
Mengapa Anda begitu tertarik melukis dengan tema lanskap?
Itu seperti kita mencatat kejadian-kejadian. Lanskap tidak hanya terikat pada pemandangan alam saja. Kejadian apapun bisa dikategorikan dengan lanskap. Peristiwa yang terjadi selama perjalanan hidup dapat berubah-ubah. Saat kanak-kanak, saya melihat sawah yang luas sekali. Sewaktu kecil, saya diajak kakek keliling sawah di daerah Delanggu, Jawa Tengah. Saat itu, sawah-sawahnya luas sekali.
Sekarang, sawah telah berubah menjadi rumah-rumah, seperti sawah di belakang rumah saya, perbedaannya besar. Lanskap itu menyangkut waktu, ada perubahan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pengalaman tersebut menjadi renungan lalu saya catatkan ke atas kanvas menjadi sebuah lukisan. Termasuk dengan peristiwa banjir di Jakarta yang terjadi di awal Januari 2020, ini termasuk lanskap.
Banjir Jakarta melahirkan ide untuk membuat lukisan?
Lukisan banjir Jakarta judulnya agak sinis Jakarta Megapolitan-Patung Pembebasan Banjir. Patung yang terlukis merupakan patung pembebasan yang terdapat di Lapangan Banteng. Lukisan menggambarkan banjir sampai kaki patung. Kalau banjir sampai kaki patung, mungkin Pulau Jawa sudah tidak terlihat berarti banyak penderitaan.
Kemunculan gedung di belakangnya mungkin pada awalnnya tidak diperkirakan. Tetapi mungkin ada kaitannya satu dengan yang lain. Semua perkembangan ada kaitannya. Ada gedung baru akan bersangkutan dengan turunnya tanah di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta mengembangkan gedung-gedung tinggi.
Di sisi lain rumah penduduk tenggelam semua, nggak diperhatikan. Saya rasakan kondisi yang terjadi seperti itu. Kebetulan pada hari itu ada gerhana cincin, saya menggabungkan semuanya. Jadi mundurnya waktu pameran yang terkendala padatnya jadwal di Galeri Nasional, saya masih memiliki kesempatan untuk membuat ini.
Apa manfaat lain dari melukis lanskap?
Satu pengalaman seorang pelukis itu adalah mencatat (melukis di atas kanvas). Kehidupan akan di hadapkan pada perubahan-perubahan, mulai masa kecil hingga dewasa. Dengan latar belakang yang berbeda sejalan dengan perubahan waktu, seperti Kota Bandung yang belum banyak bangunan, saat ini kota menjadi banyak bangunan. Peristiwa tersebut dapat tercatat dalam lukisan.
Semua itu menjadi bahan renungan?
Catatan tersebut sekaligus memberikan satu perenungan bahwa perkembangan bangsa tidak selalu sejalan dengan kemakmuran rakyatnya. Seperti pada tahun 1945, Jepang rata dengan tanah karena bom atom. Saat ini, mereka telah menjadi negara maju. Berbeda halnya dengan Indonesia, pada tahun yang sama, Indonesia sudah menjadi negara merdeka namun hingga saat ini masyarakatnya masih menderita. Kesejahteraannya jauh sekali. Kadang-kadang, saya mengirikan perkembangan kesejahteraan Indonesia dengan Jepang.
Kondisi masyarakat dapat juga melahirkan tema pameran?
Catatan lain berupa penderitaan rakyat yang terjadi pada tahun 1959. Saat itu, saya akan berangkat studi ke Amerika Serikat. Selama di perjalanan menuju Bandara Kemayoran, saya melihat rakyat yang kelaparan. Suasananya berbanding terbalik dengan kondisi airport yang masyarakatnya terlihat lebih makmur. Itulah, cerminan dari kemiskinan yang masyarakatnya sangat menderita. Sehingga sekitar tahun 1962, saya membuat pameran dengan tema Lapar.
Apakah ada tema lanskap tertentu yang paling menarik?
Melukis lanskap perlu perenungan di suatu tempat atau pantai bahwa pentingnya ada horizon. Horizon menjadi garis cakrawala pemandangan. Sehingga, pemandangan apapun ada horizon yang terlibat, apakah tanah, laut, sawah selalu ada horizon. Lanskap merupakan titik tolak yang dikembangkan, entah di darat, laut maupun udara. Seperti garis awan, itu artinya pemandangan sebenarnya. Itu saya artikan untuk titik tolak membuat lanskap.
Adakah ritual khusus sebelum melukis?
Begini ya, kadang melukis itu spontanitas. Tetapi, kita harus selalu merenung karena kita hidup dalam pikiran. Tema lukisan terkait dengan peristiwa maupun pengalaman yang menyetuh perasaan. Kita tersentuh lalu mengungkapkan maupun mengekspresikan dalam bentuk karya. Seperti lukisan banjir di Jakarta. Peristiwanya terjadi secara mendadak. Saya juga tidak terpikirkan kalau Jakarta akan banjir seperti ini. Jadi lukisan ini tidak direncanakan.
Berarti melukis lanskap tidak selalu keindahan?
Kalau dalam pameran nanti jelas ada. Namun melukis menggunakan berbagai sudut pandang. Yang saya renungkan itu adalah masalah sosial, politik, budaya maupun seni. Itu semua termasuk teknis bekerja dalam bidang seni lukis. Sedangkan, tema bisa sangat luas sebab berkarya bisa menggunakan semua bidang yang menyangkut kehidupan manusia.
Tema lukisan merupakan ungkapan memori, lukisan mencatat di atas kanvas. Jadi melukis lanskap bukan sekadar membuat lukisan pemandangan alam yang indah untuk menarik turis asing datang ke Indonesia. Bukan sekadar itu. Tapi, ada tema yang bisa dirasakan. Karya merupakan pengembangan sosial, politik, budaya maupun seni. Maka dulu, Pak Ali Sadikin pernah marah dengan lukisan saya. Karena, lukisannya tanpa disadari menyerempet ke arah politik.
Bagaimana dengan pemilihan warna?
Warna merupakan salah satu bidang yang harus saya geluti juga. Karena, warna sangat sangat besar pengaruhnya terhadap situasi waktu, akan melibatkan unsur roso. Sampai sekarang pun, saya masih mendalami unsur perbedaan antara warna satu dan yang lainnya, yang menimbulkan roso berbeda.
Jadi misalnya, antara warna biru dan merah dapat menimbulkan perasaan yang berbeda. Nanti ada lagi, warna biru ultramarine atau kehijauan yang memiliki perasaan yang lain lagi. Kalau warna emas banyak digunakan sebagai warna sebagai perlambang keagungan. Di sejumlah wilayah seperti Bali, warna emas digunakan untuk menunjukkan keagungan. Namun penggunaan warna tidak mengekang, misalkan warna gunung maupun langit tidak selalu biru.
Sewaktu melukis Papua dari udara, wilayah yang diambil pada saat sunset didominasi warna gelap, yang menggambarkan kondisi hutan yang gelap pekat. Satu-satunya pemandangan yang terlihat selain matahari sore yaitu aliran sungai yang berwarna kekuningan. Aliran sungai yang terlihat mengkilat diterpa matahari sore menjadi satu penanda bahwa daerah tersebut kaya dengan emas.
Bisa dijelaskan bagaimana dengan proses berkarya Anda?
Proses pengerjaan lukisan tidak hanya berkonsentrasi pada satu lukisan melainkan lukisan dapat dibuat bersama dengan dua atau tiga lukisan lain. Hal ini karena terkadang dari satu tema, ada keinginan untuk mengembangkan lukisan tersebut. Akhirnya, saya pindah melukis ke karya kedua atau kadang-kadang karena tema pengembangannya terhenti pindah ke karya yang ketiga.
Kalau melukis satu per satu, selama enam bulan hanya menghasilkan satu lukisan. Lukisan juga bisanya saya kerjakan di halaman ini (halaman belakang) sambil melihat lingkungan sekitar. Kalau hujan, lukisan baru dipindah ke dalam, melanjutkan melukis di sana.
Usia Anda sudah 88 tahun, namun masih bisa melukis dalam bidang besar, apa rahasianya?
Olah raga, ada trainer yang datang seminggu dua kali. Tapi olah raga tidak dilakukan pada saat belakang ini saja, namun sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Dalam pameran nanti menampilkan berapa karya?
Secukupnya ruangan di Galeri Nasional. Tapi kurang lebih ada sekitar 50 karya. Tadinya, pameran akan dilakukan pada tahun 2019 tetapi karena jadwal Galeri Nasional padat baru dilakukan tahun 2020. Kemunduran waktu pameran ini justru menghasilkan karya yang tidak direncanakan, salah satunya lukisan Jakarta Megapolitan-Patung Pembebasan Banjir. Karena, ada peristiwa banjir di awal Januari 2020. Saya mengalami peristiwa besar, banjir di Jakarta.
Pameran menampilkan sebanyak 44 lukisan yang dibuat sejak 2016. Ditambah dengan lima lukisan yang dibuat pada tahun sebelumnya. Dalam pameran juga akan disandingkan lukisan lama dengan lukisan baru dengan tema yang sama. Tujuannya, tidak lain untuk membaca kurun waktu objek lukisan dari masa 20 tahun yang lalu dengan masa kini. Sehingga muncul perbandingan, kondisi masa lalu dengan masa kini. Saat ini, sebagian lukisan sudah dimasukkan ke dalam kardus untuk persiapan pameran mulai 11 Maret 2020.
N-3