Kota Sparta dikenal memiliki prajurit tangguh hasil pendidikan keras sejak berusia 7 tahun. Hukumnya bersifat diskriminatif, memperlakukan budak dan masyarakat bukan warga negara dengan bengis.

Sparta adalah kota pada zaman Yunani Kuno yang merupakan Ibu Kota Laconia dengan kota terpenting Peloponesus di tepi Sungai Eurotas. Kota ini terkenal karena cerita kepahlawanan, dengan kisah-kisah heroik yang terjadi terutama pada Perang Peloponnesia.
Kehebatan dan keberanian prajurit Sparta telah menginspirasi dunia Barat selama ribuan tahun dan, bahkan di abad ke-21. Beberapa film-film Hollywood seperti 300 dan serial video game futuristik Halo yang menggunakan istilah Spartan untuk prajurit super.
Tetapi apa yang membuat negara-kota kuno yang begitu kuat dan sukses mengalami kehancuran? Pelajarannya adalah kelas penguasa yang memiliki hak eksklusif terlalu keras dalam memperlakukan anggota masyarakat yang paling lemah.
Kota Sparta awalnya dihuni oleh orang-orang Doric dari bagian tenggara Semenanjung Peloponnesia. Pada puncaknya, Sparta adalah kota yang diarahkan pada perang total yang belum pernah terjadi sebelumnya atau sejak saat itu.
Prajuritnya digembleng dalam hidup untuk satu tujuan yaitu untuk melayani negara. Semua individu harus tunduk padanya. Hampir tidak ada orang yang tidak termasuk dalam kelas prajuritnya, diizinkan menjadi warga negara.
Sparta sepenuhnya berorientasi pada militer, dengan kelas prajuritnya menguasai semua warga yang lain. Dengan cara yang keras ini, penguasa berhasil menaklukkan tanah dan masyarakat dan mempertahankan perbatasannya. Negara kota itu disebut paling kuat pada abad ke-5 SM.
Populasinya mencapai 35.000 warga, sebuah jumlah yang cukup besar kala itu. Populasinya semakin banyak karena adanya helot atau orang-orang yang diperbudak. Mereka berasal dari Messenia, sebuah tempat yang berhasil ditaklukkan oleh Sparta dalam perang. Namun mereka meski tinggal di kota, tetapi bukan warga negara.

Perbudakan
Tahun 480 SM Spartan menghadapi momen besar. Sebanyak 300 prajuritnya di bawah Raja Leonidas yang Agung, dan bersama dengan beberapa ratus pasukan sekutu lainnya, bertempur dengan pasukan Persia yang jauh lebih besar di bawah Xerxes di Thermopylae.
Di atas kertas Sparta seharusnya kalah pada pertempuran itu, namun hebatnya musuh benar-benar hancur, dengan begitu banyak korban. Kemenangan dalam pertempuran Salamis itu mengakhiri ancaman invasi Persia ke dunia barat selamanya.
Sparta kemudian menyatakan dirinya, dengan sangat akurat, sebagai "pembela Hellenisme," yaitu paham orang awam maupun orang di dunia yang berbicara, berkelakuan dan hidup seperti orang Yunani. Tapi dadu telah dilemparkan dalam susunan negara, karena para budak dan non-warga negara lainnya, mulai jauh melebihi jumlah Spartan sendiri.
Sejarawan Thucydides menulis, kebijakan Sparta selalu terutama diatur oleh perlunya mengambil tindakan pencegahan terhadap para helot. Dalam tampilan suram dari penghinaan mutlak, setahun sekali, setelah pelantikan Ephors atau penguasa lokal warga diizinkan membunuh para helot tanpa perlu takut akan pembalasan.
Sejarawan Myron dari Priene menggambarkan situasi para helot dalam masyarakat Sparta pada abad ke-3 SM. "Mereka menugaskan para helot setiap tugas memalukan yang mengarah pada aib. Masing-masing dari mereka harus mengenakan topi kulit anjing lalu menerima sejumlah pukulan yang ditentukan setiap tahun terlepas dari kesalahan apa pun. Tujuannya membuat untuk menegaskan bahwa mereka adalah budak," tulis dia.
"Selain itu, jika ada yang melebihi kekuatan yang sesuai dengan kondisi seorang budak, mereka membuat hukuman mati, dan mereka memberikan hukuman kepada mereka gagal mengendalikan helot menjadi gemuk," imbuh Myron. hay/I-1

Latihan Keras Sejak Anak-anak

Seperti pepatah tidak ada yang abadi, pada 464 SM gelombang berbalik. Meski tentara Spartan dianggap sebagai salah satu yang paling terlatih di Bumi, namun helot atau budak yang tertindas itu berani melakukan pemberontakan.
Selama Perang Messenia ke-3, setelah merebut benteng kuno di Gunung Ithome, para helot melawan mantan tuan. Namun perjuangan para helot berakhir dengan kekalahan dan akhirnya mereka menyerah.
Pemberontakan helot oleh sejarawan Plutarch menyebabkan perlakukan lebih kejam kepada para helot yang tersisa. Penguasa Sparta kemudian membentuk Crypteia, yang dianggap sebagai jenis polisi rahasia yang ditugaskan untuk meneror para helot di pedesaan Laconia.
Pembebasan helot terjadi pada 371 SM. Saat itu pasukan Sparta dikalahkan oleh komandan Theban Epaminondas di pertempuran Leuctra, di Boeotia. Pukulan ini menyebabkan penguasa Spartan membebaskan helot di Kota Messenia, sedangkan helot yang tinggal di Laconia, di mana orang-orang Sparta berada, baru dibebaskan oleh raja-raja reformasi Cleomenes III (235-222 SM) dan Nabis (207-192 SM).
Pembebasan helot oleh para penguasa Spartan agak janggal karena hal tersebut telah menjadi tradisi. Beberapa orang mengatakan bahwa kelas perwira Sparta yang kejam itu lama telah mulai punah. Hal itu terjadi satu abad setelah kematian Alexander pada 323 SM.
Pada tahun 195 SM, Perang Laconian membawa Sparta ke dalam pertempuran lagi. Ketika Aetolia membunuh Nabis yang tiran di Sparta. Pasukannya merebut kota dan mulai menjarah istana kunonya itu.
Spartan yang tersisa mampu mengusir pasukan Aetolia keluar kota, tetapi Jenderal Philopoemen dari Megalopolis di Arcadia, kemudian berhasil memasuki Sparta dan menuntut agar memasuki Achaean League, berkoalisi dengan Roma.
Banyak tentara di bawah Philopoemen adalah orang buangan politik Sparta, dan penguasa baru dengan cepat membangun kembali kewarganegaraan mereka setelah pengambilalihan. Dia kemudian menghapus hukum yang ada dan sistem pendidikan kota untuk selamanya, membuangnya ke tempat sampah sejarah.
Hukum dan norma masyarakat Achaean kemudian menjadi kekuatan dominan di kota. Setelah Roma mengalahkan Achaean League, membuat Sparta menjadi kota bebas di dalam kekaisarannya.
Namun, Simon Price dan Peter Thonemann, dalam karya mereka The Birth of Classical Europe berbicara tentang yang terjadi di Sparta yang pernah dibanggakan. Berdiri hampir seribu tahun sebelum diambil alih oleh orang Romawi.
Pada akhir abad kedua Masehi, para penulis mengatakan, turis Romawi yang mengunjungi Sparta akan melihat kembali bagian paling kejam dan mencolok dari sistem Agoge yang diterapkan Sparta kuno. Agoge adalah sebuah program pendidikan dan pelatihan yang ketat yang merupakan aturan untuk semua anak laki-laki Spartan kecuali untuk putra sulung dari keluarga penguasa.
"Pada usia tujuh, seorang anak laki-laki Sparta diambil dari ibunya dan dibesarkan di barak, di bawah pengawasan anak laki-laki yang lebih tua," tulis profesor Universitas Virginia, JE Lendon dalam bukunya Soldiers and Ghosts: A History of Battle in Classical Antiquity.
Anak laki-laki dicambuk untuk menanamkan rasa hormat (aidos) dan kepatuhan, berpakaian buruk untuk membuat mereka tangguh dan dibuat lapar agar tahan terhadap kelaparan. Jika terlalu lapar, mereka didorong untuk mencuri sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan sembunyi-sembunyi. Tetapi jika tertangkap, akan dihukum.
Anak perempuan, meskipun tidak dilatih secara militer, diharapkan untuk berlatih secara fisik. "Kebugaran fisik dianggap sama pentingnya bagi perempuan seperti halnya bagi laki-laki, dan perempuan mengambil bagian dalam perlombaan dan uji kekuatan," tulis Sue Blundell dalam bukunya Women in Ancient Greece.
Perempuan dilatih lari, gulat, lempar cakram dan lembing. "Mereka juga belajar bagaimana mengelola kuda, mereka mengendarai kereta dalam prosesi dan di Hyacinthia, festival Apollo dan Hyacinthus, mereka berlomba dengan kereta dua kuda," tulis dia.
Bangsa Romawi bahkan memiliki "penjelas adat Lycurgan" mereka sendiri, Menurut Simon Price dan Peter Thonemann, yang berfungsi sebagai pemandu wisata bagi para turis Romawi. Namun, latihan dan permainan yang kejam, berdarah, dan bahkan mematikan yang sangat disukai orang Romawi untuk disaksikan di seluruh kekaisaran sebenarnya bukan berasal dari sana.
Juga telah dilaporkan oleh sejarawan bahwa orang Romawi diketahui mengunjungi kuil kuno Artemis Orthia, di tepi selatan Sungai Eurotas di Sparta. Mengamati ritus di sana, mungkin dianggap sebagai semacam hiburan.
Pada tahun 214 M, sebuah unit Spartan dilaporkan telah bergabung dengan tentara jenderal Romawi Caracalla dan bertempur menggunakan campuran phalanx Spartan tradisional dan persenjataan Romawi. Tragisnya, seperti yang terjadi di seluruh Eropa Barat, Sparta diserbu dan dijarah oleh Visigoth di abad berikutnya, mengantarkan zaman kegelapan bagi warganya yang tersisa.
Ditaklukkan oleh pemimpin Visigoth Alaric I pada 396 M, kota kuno itu melihat penduduknya yang dulu bangga dijual sebagai budak. Namun, sisa-sisa suku Doric aslinya entah bagaimana bertahan bahkan melalui kehancuran ini, dengan kemungkinan keturunan mereka yang ada bahkan hingga hari ini di tempat-tempat seperti Semenanjung Mani, menurut beberapa sarjana.
Kota Sparta di Yunani modern didirikan kembali pada 1834 melalui dekrit kerajaan yang diturunkan oleh Otto, raja Yunani. Itu masih ada sampai sekarang dan menjadi tuan rumah bagi museum baru yang menawarkan gudang besar artefak dari sejarah panjang dan termasyhur dari negara-kota yang dulunya hebat. hay/I-1

Baca Juga: