Pola pertanian keluarga tidak hanya mendukung kedaulatan pangan, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan.
JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan Indonesia memiliki keunggulan biodiversiti terbesar kedua di dunia salah satunya sorgum yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang sarat gizi.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, dalam keterangannya pada peringatan Hari Pangan Sedunia baru-baru ini, mengatakan Indonesia sebenarnya punya kesempatan untuk meningkatkan ketahanan pangan salah satunya dengan memanfaatkan sorgum untuk sumber karbohidrat selain beras.
Faktor geografis dan demografis, jelas Arief, menghasilkan kompleksitas tersendiri bagi ketahanan pangan nasional. Namun di balik tantangan tersebut, Indonesia memiliki biodiversiti terbesar kedua di dunia, sehingga potensi pangan pokok alternatif seperti sorgum, penting untuk terus didiseminasikan secara luas kepada masyarakat.
"Jumlah penduduk kita saat ini sudah 280 juta, terdiri dari 17 ribu pulau yang setiap daerah punya karakteristik climate yang berbeda-beda, sehingga kita punya kompleksitas yang luar biasa," kata Arief saat menyampaikan pidato kunci dalam diskusi bertajuk Sorgum: Sumber Pertumbuhan Baru untuk Ketahanan Pangan, yang diadakan Wanita Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Di Indonesia timur itu sangat memungkinkan ditanami sorgum secara luas karena sorgum tidak perlu banyak air seperti halnya padi. Jadi, sumber karbohidrat masyarakat bisa pula dari sorgum.
Terkait biodiversitas yang dimiliki Indonesia, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia adalah negara dengan kekayaan biodiversitas tertinggi kedua di dunia dan bisa dikatakan sebagai negara megabiodiversitas.
Pada 2022, Indonesia memiliki skor 0,614, dan Brasil menempati tertinggi pertama dengan skor 0,772. Sementara dalam himpunan data Bapanas, di Indonesia total terdapat 945 biodiversitas pangan, terdiri dari 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah dan bumbu.
"Terkait sorgum, jika menilik kandungan gizinya, bisa dikatakan sorgum memiliki kandungan energi, protein, lemak, dan serat yang lebih tinggi dibandingkan beras dan terigu," tambah Arief.
Sorgum pun lebih mudah dicerna sehingga cocok bagi penyintas obesitas, diabetes melitus, dan diet karbohidrat. Dalam 100 gram sorgum mengandung energi 366 kilokalori (kkal), karbohidrat 73 gram, protein 11,0 gram, lemak 3,3 gram dan serat 1,2 gram.
"Kita ingin pangan itu bukan hanya mencakup ketercukupan, ketersediaan, dan stabilitas harga, tetapi juga harus memenuhi gizi yang diperlukan oleh kita semua," katanya.
Sorgum tidak hanya mengandung karbohidrat, tetapi juga memiliki banyak manfaat lainnya yang baik bagi kesehatan tubuh, sehingga dia mengajak untuk mengampanyekan keunggulan sorgum secara luas.
Diminta terpisah, Deputi bidang Pemantauan Indonesia Human Rights Committee and Social Justice (IHCS), Lalu Ahmad Laduni, menyatakan bahwa biodiversitas yang dimiliki Indonesia harus dioptimalkan secara maksimal, terutama melalui pendekatan yang berakar pada pola pertanian keluarga.
Laduni menekankan bahwa pertanian keluarga merupakan fondasi utama atau soko guru dari pertanian nasional, dan seharusnya menjadi fokus utama dalam setiap upaya pengembangan potensi tanaman alternatif seperti sorgum.
"Keunggulan biodiversitas Indonesia adalah anugerah yang harus kita manfaatkan dengan bijak, namun penting untuk diingat bahwa pertanian keluarga merupakan kunci keberlanjutan di sektor pertanian," katanya.
Pola pertanian keluarga tidak hanya mendukung kedaulatan pangan, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, dan melestarikan kearifan lokal. Pengembangan tanaman alternatif seperti sorgum harus diarahkan untuk memperkuat pertanian keluarga, bukan sekadar mengejar peningkatan produksi secara komersial yang berisiko mengabaikan petani kecil.
Dia pun berharap agar pemerintah tidak hanya mendorong diversifikasi pangan, tetapi juga menciptakan kebijakan yang benar-benar pro petani keluarga.
Hak Fundamental
Sementara itu, pengamat pertanian dari Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta, menegaskan bahwa hak atas pangan merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Sebab itu, setiap individu berhak untuk mendapatkan akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi.
Pemerintah harus berperan penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pemenuhan hak atas pangan. Kebijakan yang memprioritaskan akses terhadap pangan bergizi, mengatur distribusi pangan, dan memberikan insentif bagi produsen makanan sehat harus menjadi perhatian utama.
"Program subsidi untuk produk pangan sehat, pengaturan harga pangan, dan dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pangan dapat membantu meningkatkan ketersediaan pangan berkualitas," ungkap Muliarta.