Teknologi vaksin berbasis messenger ribonucleic acid (mRNA) memiliki sejumlah kelebihan dibanding teknologi vaksin inaktif, virus vektor, dan vaksin subunit, meski juga memiliki kelemahan. Namun, teknologi sangat potensial sebagai solusi bidang kesehatan.
Jika dirunut, teknologi mRNA telah dikembangkan para ilmuwan terapi sejak awal 1990-an. Tapi baru pada 2005, sekelompok peneliti University of Pennsylvania memublikasikan temuannya. Sejak itu, teknologi tersebut dianggap sebagai terapi penting dalam dunia kesehatan.
Pengajuan paten kepada US Securities and Exchange Commission (SEC) yang disoroti oleh Knowledge Ecology International mengungkapkan serangkaian sublisensi untuk paten terkait mRNA. Pertama, dilakukan University of Pennsylvania kepada Moderna dan BioNTech meski tidak secara langsung.
Secara langsung, pengajuan paten oleh University of Pennsylvania dilakukan pada 2017. Ini secara eksklusif melisensikan ke mRNA RiboTherapeutics. Selanjutnya, disublisensikan ke afiliasi CellScript. Perusahaan ini lalu menyublisensikan kembali paten ke Moderna dan BioNTech.
"Namun, nomor paten disunting di semua pengajuan, sehingga sulit untuk menentukan mana yang relevan dengan produksi vaksin Covid-19," kata sebuah laporan yang ditulis oleh Peneliti dari Departemen Kimia, Universitas Michigan, Ann Arbor, MI, Amerika Serikat (AS) Mario Gaviria dan Direktur Public Citizen's Access to Medicines, Burcu Kilic, dalam jurnal Nature.
Menurut penulis, kunci dari platform vaksin mRNA adalah kemampuan mengirim mRNA ke sel memakai nanopartikel lipid. Penelitian tentang itu telah dilakukan University of British Columbia bersama dengan Arbutus Biopharmaceuticals pada 1998.
Analisis lebih lanjut mengungkapkan, pada 2012 Arbutus melisensikan satu set paten yang berkaitan dengan pengiriman asam nukleat ke Acuitas Therapeutics. Pada 2016, Acuitas mengadakan perjanjian pengembangan dan opsi dengan CureVac, termasuk akses ke paten pada teknologi nanopartikel lipid.
"Acuitas juga memberikan sublisensi kepada Moderna. Namun, pada 2016 Arbutus menyatakan, sublisensi Acuitas kepada Moderna tidak tepat dan dibawa ke sistem hukum Kanada untuk mendapatkan ganti rugi," tulis keduanya.
Proses pengadilan di Kanada akhirnya diselesaikan. Tetapi pada 2018 Moderna mulai mengajukan gugatan inter partes review (IPR). Tujuannya untuk menantang validitas paten AS di hadapan US Patent and Trademark Office, pada tiga paten Arbutus. Ini diakhiri dengan pembatalan klaim dua dari tiga materi gugatan.
Selain itu, Arbutus juga menandatangani perjanjian dengan Roivant untuk memproduksi Genevant, yang menerima lisensi untuk portofolio paten pada nanopartikel lipid. Genevant menyublisensikan patennya kepada BioNTech. Kemudian menandatangani perjanjian dengan Pfizer untuk mengembangkan vaksin Covid-19.
Penting juga untuk dicatat, US National Institutes of Health (NIH) dan Moderna menandatangani perjanjian pada awal 2019 untuk bersama-sama mengembangkan vaksin virus korona, sebelum identifikasi dan penyebaran SARS-CoV-2
Keberhasilan platform vaksin mRNA pada vaksin Covid-19 bergantung pada produksi protein lonjakan virus korona untuk memperoleh respons imun. Moderna, CureVac, Pfizer dan BioNTech telah mengungkapkan bahwa mRNA yang digunakan dalam kandidat vaksin mereka mengodekan versi stabil dari protein lonjakan yang dikembangkan oleh NIH. hay/G-1

Baca Juga: