Platform yang menjalankan bisnis social commerce sudah semestinya dilarang karena bisa memonopoli pasar.

JAKARTA - Pemerintah jangan memberikan izin sebagai social commerce tiga raksasa platform media sosial (medsos) di bawah Grup Meta, yakni Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Sebab, praktik social commerce berisiko memicu persaingan tak sehat karena monopoli pasar.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai sebuah platform memang sudah sewajarnya dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan atau social commerce. Jika tak diatur, model bisnis tersebut berpotensi menghadirkan persaingan dagang tidak sehat.

"Kalau di luar negeri memang dipisah. Jadi, sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," kata dia beberapa waktu lalu.

Menurut Bhima, pemisahan diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data karena penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda. Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.

"Sebuah platform juga tidak bisa lagi memanfaatkan algoritma media sosialnya untuk berjualan. Setidaknya, algoritma media sosial tidak diarahkan untuk kepentingan penjualan barang di e-commerce," ungkap Bhima.

Seperti diketahui, e-commerce adalah pembelian dan penjualan barang, jasa, atau data melalui jaringan elektronik di internet. Transaksi yang diselesaikan lewat e-commerce terjadi melalui platform penjualan online situs web e-niaga dan pasar digital. Sementara itu, social commerce menggabungkan jejaring sosial dan e-commerce dengan iklan tertarget dan personal. Di social commerce tidak memiliki biaya administrasi hingga pajak sehingga harga barang lebih murah.

Dokumen Dikembalikan

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan, Isy Karim, mengakui platform yang tergabung dalam Meta grup, yakni Facebook, Instagram, dan WhatsApp telah mengajukan perizinan sebagai social commerce. "Sudah mengajukan, tapi masih ada yang harus dilengkapi. Jadi, belum mengajukan lagi setelah dikembalikan," ujar Isy saat ditemui dalam pembukaan pameran Mall to Mall Produk UMKM yang digelar di Jakarta, Rabu (8/11).

Dirinya menyebut grup perusahaan teknologi itu belum melengkapi dokumen salah satunya aplikasi yang terintegrasi dengan perlindungan konsumen. Facebook, Instagram, dan WhatsApp mengajukan izin sebagai social commerce, bukan e-commerce pada akhir Oktober 2023.

Lebih lanjut, Isy menyampaikan TikTok hingga saat ini belum mengajukan izin sebagai e-commerce. Kegiatan platform itu hingga kini masih dibatasi hanya untuk promosi/ iklan hingga survei.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, mengatakan platform yang menjalankan bisnis social commerce sudah semestinya dilarang karena bisa memonopoli pasar. "Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki, belum lama ini.

Monopoli alur traffic pasar, lanjutnya, dijalankan tanpa disadari oleh pengguna sehingga bisa diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa sadar. Bisnis social commerce juga rentan terhadap manipulasi algoritma yang memungkinkan platform menguntungkan satu produk.

Baca Juga: