Dengan skema direct cash transfer, para produsen pupuk akan memberikan pelayanan terbaik kepada petani, sebagai pemegang dana, dalam menyediakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka.

JAKARTA - Pemerintah perlu mengubah skema penyaluran subsidi pupuk dari tak langsung menjadi langsung. Sebab, penyaluran pupuk bersubsidi dengan skema subsidi langsung atau penyerahan dana secara langsung ke petani lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi.

"Pengalihan subsidi pupuk yang sekarang ini subsidinya di input atau uangnya itu masuknya ke produsen pupuk, menjadi direct cash transfer jadi uang langsung masuk ke petani. Harus ada perubahan radikal terkait dengan subsidi pupuk," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Menurutnya, dengan skema tersebut, para produsen pupuk akan memberikan pelayanan terbaik kepada petani, sebagai pemegang dana, dalam menyediakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka.

Dwi menjelaskan penyaluran pupuk subsidi dengan skema subsidi input di mana petani mendapatkan pupuk subsidi dari produsen dinilai rentan akan potensi penyaluran yang tidak tepat sasaran serta tindakan penyelewengan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

"Itu (alokasi tidak tepat sasaran dan penyelewengan) semuanya akan terselesaikan dengan direct payment, dengan uang langsung di transfer ke petani, itu yang harusnya dilakukan," ujar Dwi yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).

Terkait dengan dampak program penyaluran pupuk subsidi terhadap produktivitas petani, Dwi menilai tidak terdapat korelasi positif antara peningkatan alokasi pupuk subsidi dengan jumlah hasil produksi petani.

"Pada 2013 subsidi pupuk 17,6 triliun rupiah dan produksi 58,7 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada 2019 subsidi pupuk dinaikkan 2 kali lipat dibandingkan 2013 sebesar 34,3 triliun rupiah, produksi pada 2019 mencapai 54,6 juta ton GKG," jelas Dwi.

Menurutnya, langkah terpenting dalam meningkatkan produktivitas petani adalah dengan menjaga harga gabah kering panen (GKP) di tingkat usaha tani yakni dengan menghentikan impor beras yang berpotensi membuat harga GKP menjadi turun.

"Hasil survei AB2TI pada September 2022, sekitar 5.667 rupiah biaya produksi per kilogram gabah kering panen, sehingga nanti kalau harga gabah kering panen jatuh di bawah 6.000 rupiah petani rugi. Dampaknya apa kalau petani rugi? Petani malas lagi nanti tanam padi," terang Dwi.

Dwi memperkirakan produksi pada 2024 akan meningkat 3-5 persen karena saat ini harga GKP di tingkat usaha tani mengalami peningkatan dan kondisi iklim yang kembali normal pasca El Nino atau kemarau ekstrem sehingga dapat mendorong produktivitas petani.

Alokasi Dikurangi

Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) pada tahun anggaran 2024 secara nasional mengurangi alokasi pupuk urea bersubsidi hampir 50 persen termasuk pupuk NPK karena keterbatasan anggaran.

Salah satunya di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Pemerintah daerah setempat mengusulkan 33.221 ton pupuk urea subsidi melalui elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok atau e-RDKK, namun hanya terealisasi 17.552 ton atau 53 persen dari jumlah alokasi pupuk subsidi yang diusulkan.

"Se-Jawa Timur dan bahkan nasional memang ada pengurangan alokasi pupuk subsidi dari pemerintah pusat karena keterbatasan anggaran," ujar Kepala Bidang Penyuluhan pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Situbondo, Muhammad Zaini, di Situbondo, JawaTimur, Sabtu (6/1).

Baca Juga: