Tak hanya mendukung konservasi lingkungan, skema pertanian regeneratif dapat menggenjot produktivitas dan mengatasi kebergantungan terhadap pupuk pabrik sehingga dapat menekan biaya.

JAKARTA - Pertanian regeneratif perlu diterapkan di semua wilayah karen dinilai sangat cocok untuk menekan dampak perubahan iklim. Skema regeneratif menekankan pada pertanian yang menjamin keberlanjutan.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan prinsip regeneratif lebih pada penekanan dampak ekosistem lingkungan berkelanjutan, dengan skema organik dan mendukung konservasi berbasis keanekaragaman hayati.

"Kalau dikaitkan dengan krisis lingkungan tentu sangat mengatasi dan menjawab kebutuhan masa depan, mengingat lebih dari 90 persen pertanian kita sangat bergantung pada eksistensi pupuk dan obat-obatan kimia dan skema pertanian yang lebih ekstraktif dengan model penyeragaman padahal secara alamiah alam memerlukan unsur biodiversitas," jelasnya kepada Koran Jakarta, Senin (22/7).

Tambahan lain, papar Hafidz, sistem pertanian regeneratif dapat meningkatkan produktivitas di lahan kering dan juga pemanfaatan lahan sekitar hutan yang tidak berorientasi pada deforestrasi. Namun, proses pengenalannya tidak bisa dipaksakan, tetapi harus dilakukan proses tahap demi tahap dengan pendampingan langsung di tingkat komunitas.

"Mengingat pertanian masih menjadi ujung tombak penghidupan bagi masyarakat desa yang sifatnya masih sangat subsisten, maka perlu pengelolaan yang tepat agar tidak mengganggu produktivitasnya," ujarnya.

Menurut Hafidz, proses transisi dari teknik pertanian konvensional untuk menuju pertanian organik biasanya butuh waktu tak singkat, terutama pada aspek penanganan hama dan pemenuhan nutrisi tanah.

"Namun, apabila sudah berhasil secara signifikan akan mengurangi biaya operasional pertanian dan memberikan multiplayer effect cukup besar pada ekonomi lokal, di mana pupuk dan pestisida organik bisa diproduksi mandiri oleh komunitas. Begitu juga dengan pemanfaatan biodiversitas lain, misalnya pemanfaatan burung untuk mencegah hama tikus, bunga-bunga untuk mengalihkan hama wereng dan belalang, dan sebagainya," jelasnya.

Hafidz menilai ke depan, sistem pertanian regeneratif juga harus didukung dengan rekayasa mikoroba dengan proses bio-engineering. Hal itu memungkinkan optimalisasi setiap tahap dan proses pertanian secara alamiah, misalnya dalam aspek penciptaan bibit berkualitas, ketahanan dari hama, pengurangan gulma, dan optimalisasi nutrisi.

Solusi Menjanjikan

Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa, menganggap pertanian regeneratif sebagai solusi menjanjikan untuk mengatasi krisis lingkungan dan mencapai pembangunan berkelanjutan.

"Dalam kerangka regulasi kita, salah satu pengejawantahan nyata dari upaya itu adalah UU (Undang-Undang) Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan yang mengamanatkan pendekatan agroekosistem dan prinsip pertanian konservasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip dari pertanian regeneratif untuk menghidupkan tanah kita secara berkelanjutan," ujarnya saat mengunjungi Science and Techno Park IPB University di Bogor, Jawa Barat, sekaligus membuka Expert Group Meeting (EGM), dikutip dari keterangan resmi, Jakarta, Jumat, pekan lalu.

Baca Juga: