Masih terdapat perkara pidana yang secara normatif telah baik dari aspek hukum materiil dan hukum formil tetapi faktanya tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran yang sejati. Untuk itu, sudah saatnya para ahli hukum mengevaluasi pemikiran hukum "normative legalistic" kemudian mengembangkan aliran hukum yang kritis pragmatis dan aliran "sociological jurisprudence" yang mengedepankan fungsi dan peranan hukum agar masyarakat lebih baik dan bersifat kritis.

Periode kedua Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mengalami masa-masa surut, hampir mencapai titik nadir sekalipun pemerintah telah berupaya keras untuk mengembalikan marwah hukum dan penegakannya di hadapan publik. Misalnya UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), korupsi, narkoba, selain pelanggaran-pelanggaran ringan lainnya yang telah biasa terjadi di negara mana pun.

Jika hukum sering ditasbihkan selalu berkembang bersama masyarakatnya maka kejahatan pun sama sebangun. Perkembangan media sosial digital adalah suatu kemajuan teknologi komunikasi yang tengah terjadi, telah berkembang pesat tanpa ada filter peraturan yang memadai sebelum adanya UU ITE karena KUHP tidak dapat menjangkau perbuatan menghina dan mencemarkan nama baik seseorang dengan menggunakan media sosial digital.

Korupsi selama lebih dari 20 tahun sejak pembentukan KPK merupakan kejahatan abadi sepanjang tahun, tidak berhenti sekalipun KPK dan Kejaksaan telah menuntut lebih dari 100 perkara dan pelakunya dipenjarakan. Terorisme sejak peristiwa bom bali tahun 2002 (kurang lebih 19 tahun lalu), masih terjadi sekalipun secara sporadis di wilayah seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Timur juga di wilayah Aceh.

Gangguan dan ancaman terkait ipoleksosbud (ideologi, politik, sosial, dan budaya) merupakan "langganan" dalam kehidupan bangsa ini. Semakin seringnya peristiwa tersebut terjadi maka semakin apatis dan skeptis reaksi masyarakat terhadap masalah yang sesungguhnya sangat serius bagi kesatuan bangsa dan negara kita.

Penegakan hukum yang represif ketika Orde Baru, sampai pada penegakan hukum yang responsif seiring dengan perkembangan kekuasaan dari yang otoriter sampai demokratis telah dialami dan penegakan hukum disesuaikan dengannya. Namun kita masih tetap eksis sekalipun ditempa dengan masalah pandemi Covid-19.

Dari kacamata aspek ketahanan nasional, bangsa ini termasuk bangsa yang kuat mental membangun dalam semangat nasionalisme akan tetapi juga sering terjebak primordialisme baik dari aspek keturunan, etnis, dan agama. Sampai saat ini pun ancaman, tantangan, dan gangguan masih bergejolak baik mengenai primordialisme antikesatuan dan persatuan, separatisme maupun radikalisme dan asumsi keliru di kalangan masyarakat dan pemerintah yang masih mengunggulkan fungsi dan peranan hukum semata-mata karena dalam kenyataan fungsi dan peranan hukum juga sering dijadikan alat kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya terhadap kelompok politik minoritas. Dan sampai saat ini pula kita masih bisa membedakan antara penegakan hukum murni (genuine) dan penegakan hukum dengan management by order.

Hal yang sama terjadi sekalipun oleh KPK yang digadang-gadang merupakan lembaga penegak hukum yang bersifat independen di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, misal kasus Hambalang, kasus Pelindo, kasus Century dan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kondisi bias dari satu kasus kepada kasus lain, tidak ada yang dapat menghentikannya apalagi oleh intervensi kekuasaan karena dari perspektif sejarah hukum, hukum tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan di mana aspek moralitas masih berada di bawahnya; tidak neben tapi untergeordnet seperti beberapa kasus terkait implementasi UU ITE yang kini tengah mengalami tekanan untuk perubahan.

Namun demikian pakar-pakar hukum dan pemerintah selalu menyalahkan beban kepada aparatur hukum; sedangkan UU ITE sejatinya suatu UU yang lahir karena perkembangan teknologi maju dan setengah dipaksakan berlakunya hanya karena perkembangan teknologi digital telah disalahgunakan dengan tujuan pelakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran norma kesusilaan.

Politik pemerintah untuk mencegah dan menindak penyalahgunaan medsos yang merugikan kepentingan umum dan perorangan sudah benar. Namun demikian dilupakan prinsip-prinsip karakter hukum pidana yang bersifat ultimum remedium karena memang sejatinya pemerintah tidak memahami bagaimana cara mendekatkan aspek pencegahan di dalam menyelesaikan suatu kasus ITE sehingga aspek represif tidak mendahuluinya; dalam arti kata lain pakar hukum dan pemerintah telah mengetahui mengenai prinsip keadilan restorative dan retributive akan tetapi belum dapat memastikan bagaimana menerjemahkannya ke dalam penyusunan norma hukum ke dalam UU ITE.

Evaluasi Pemikiran

Jika dalam praktik penegakan UU ITE terjadi "miscarriage of justice" jelas bukan kesalahan aparatur hukum pelaksana an sich, melainkan juga menjadi tanggung jawab para ahli hukum yang terlibat dalam penyusunannya untuk mendekatkan fungsi dan peranan hukum (UU ITE) dalam konteks situasi sosial budaya masyarakatnya. Di dalam konteks ini, kiranya para ahli hukum sudah saatnya mengevaluasi pemikiran hukum normative legalistic dalam penyusunan politik hukum dan mulai dan seharusnya sejak tahun 1970-an dikembangkan pemikiran paham aliran hukum kritis-pragmatis (critical legal realism) dari Eugen Elrich, dan aliran sociological jurisprudence ( Roscou Pound) yang mengedepankan fungsi dan peranan hukum yang dapat membawa arah perkembangan masyarakat agar lebih baik dan bersikap kritis daripada sebaliknya.

Sebaik apapun proses pembentukannya, jika tidak dilakukan perubahan pemikiran tentang hukum maka hukum dan penegakannya tidak akan sejalan dengan perkembangan peradaban modern yang menuntut keseimbangan perlakuan hukum antara fungsi hukum yang represif dan preventif di mana dapat membalikkan pandangan masyarakat, sebaik apapun pembentukannya dipandang sama buruknya dengan penegakannya. Hampir dapat dipastikan bahwa dalam kenyataan kehidupan masyarakat bahwa tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan yang telah sejak lama dipandang sempurna oleh para ahli hukum, di dalam situasi perkembangan masyarakat yang semakin maju, tetap saja masih diragukan dan dipertanyakan di manakah letak kebenaran hukum (legal truth)-nya.

Contoh masih terdapat perkara pidana yang secara normatif telah baik dari aspek hukum materiil dan hukum formil akan tetapi masih terdapat fakta di antaranya tidak mencerminkan kebenaran yang sejati misalnya perolehan bukti permulaan yang cukup dilakukan secara tidak sah akan aspek kebenaran (hukum) tidak tampak mengemuka selain sebaliknya seperti kasus Sengkon dan Karta, Pritamulya Sari, kasus ibu pencuri buah semangka, dan masih banyak kasus lagi yang tidak mencerminkan kebenaran hukum yang sejati.

Baca Juga: