» Krisis pangan mengancam karena terjebak pada sistem yang selalu mengandalkan impor.

» Pemerintah mestinya menerapkan mekanisme harga petani yang layak melalui peningkatan produksi.

JAKARTA - Pemerintah mesti menghapus sistem yang merugikan petani nasional agar Indonesia bertahan sebagai negara berdaulat dan merdeka. Untuk itu, di saat pandemi ini pemerintah mesti mengendalikan impor pangan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nantinya, seluruh impor pangan harus di tangan negara dan keuntungannya harus dipegang negara, bukan oleh pedagang.

Pemerhati pertanian dari Lembaga Pojok Desa, Gatot Guntur Bimo, mengatakan setelah Indonesia mengalami krisis akibat beban obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bunga-berbunga menjadi 400 miliar dollar AS, kini ancaman krisis pangan mengadang akibat terjebak pada sistem yang selalu mengandalkan impor pangan untuk kebutuhan dalam negeri.

"Sekarang, krisis pangan juga mematikan satu bangsa. Apakah ini pernah dibayangkan bapak pendiri bangsa. Karena kondisi sekarang ini pasti bukan tujuan memerdekakan Indonesia," kata Gatot saat dihubungi, Kamis (6/8).

Menurutnya, petani Indonesia sekarang ini tidak bisa menjual produk dengan harga layak. Ini terjadi karena sengaja dimatikan atas arahan pedagang. "Ironis, Indonesia sebagai negara agraria, tapi 60 persen produk pangan impor, sehingga menjadi tertawaan dunia. Kondisi ini terjadi akibat oknum pejabat dan kroni sengaja membunuh petani Indonesia," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/8) mengumumkan Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juli 2020 sebesar 100,09 persen atau naik 0,49 persen dibanding bulan sebelumnya. NTP tersebut menurut pakar pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa masih jauh dari ideal.

Gatot menjelaskan, keserakahan dan kejahatan ekonomi ini membuat perdagangan monopolistik yang membunuh pertanian Indonesia dan membuat satu bangsa makan dari segelintir orang. "Kejahatan monopolistik dan ekonomi ini berjalan secara sistematis, karena oknum pejabat diperalat dan menikmati rent seeking, pedagang berkuasa dengan untung besar dan keuntungan itu digunakan untuk mengatur pemerintah," papar Gatot.

Anggaran Defisit

Menurutnya, segelintir orang tersebut menikmati keuntungan berpuluh tahun hingga menyebabkan anggaran negara defisit. "Seharusnya, yang menikmati untung dari impor adalah negara, tapi kenyataannya adalah pedagang," katanya.

Dicontohkan, harga pangan, termasuk bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia Bagian Timur yang sejak belasan tahun lalu selalu dua kali lipat harganya. Namun, selama itu pula tidak ada yang mengeluh, padahal yang diuntungkan adalah pedagang dan membuat petani rugi karena menyubsidi orang kaya di Ibu Kota.

Sedangkan masyarakat Papua, Maluku, Sumatera yang terpencil harus membayar pangan lebih mahal dari Jakarta. Malah, harga-harga di Papua dua kali lipat, sedangkan penduduknya tetap miskin. "Bukankah ini kejahatan karena pedagang diuntungkan, tetapi mematikan produktivitas dan petani Indonesia," tegas Gatot.

Pemerintah seharusnya menerapkan mekanisme harga petani yang layak melalui peningkatan produksi nasional dan produktivitas sehingga kebutuhan impor berkurang menjadi impor substitusi. Melalui mekanisme ini, uang devisa yang habis untuk petani asing akan berputar di petani dan rakyat Indonesia. "Negara diuntungkan dengan harga layak. Daya beli masyarakat sama untuk produk yang sesuai harga pasar, daripada kelebihan uang beli pulsa dan kredit motor, kan lebih baik untuk dukung petani," ujar Gatot.

Lebih dari itu, imbuh Gatot, negara dan rakyat diuntungkan jika uang berputar di dalam negeri, bukan lari ke luar negeri. Negara diuntungkan karena tumbuh bersama, bukan seperti saat ini rakyat sengsara, tapi pengusaha untung sendiri. "Sistem satu bangsa mati yang disebabkan oleh segelintir orang harus dihapus. Harga produk pangan petani Indonesia harus untung yang layak. Tidak bisa menggunakan patokan harga pangan impor yang disubsidi dan didumping oleh negara eksportir untuk menggerus devisa Indonesia," katanya.

Harga petani yang layak dengan keuntungan adalah harga pasar yang sebenarnya, sama dengan harga pasar di seluruh dunia. Kenapa Thailand harga jual gula hanya 75 sen dollar AS atau 11.000 rupiah, sedangkan ekspor cuma 8.000 rupiah.

Dijelaskan, keuntungan yang didapat dari impor adalah pendapatan negara untuk membangun pertanian mandiri. Untuk itu, seluruh impor pangan harus di tangan negara dan keuntungannya harus dipegang negara, bukan pedagang. Dengan demikian, pemerintah menghilangkan kesempatan korupsi, mengontrol pemborosan devisa negara, menentukan daya tawar harga beli yang lebih kuat dari negara asing, dan menjadi alat transisi untuk kemandirian pangan Indonesia.

"Puluhan tahun sudah cukup mengambil keuntungan dari impor pangan dan sudah waktunya semua rakyat Indonesia membangun pertanian nasional, sehingga ancaman kelaparan di Indonesia bisa dihapus," ujar Gatot.

Melalui BUMN

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dan politik dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi mengatakan, seharusnya seluruh impor pangan melalui BUMN dan swasta membeli dari BUMN. "Kenapa tindakan drastis ini harus dilakukan, karena Indonesia tidak ada yang menyelamatkan kalau bukan diri kita sendiri," katanya.

Terkait dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Edi mencontohkan langkah Presiden AS Donald Trump yang membela kepentingan dalam negeri. "Trump mengancam akan meninggalkan WTO karena menerapkan aturan yang tidak seimbang. Kita juga bisa lakukan itu, di sinilah peran Kementerian BUMN sebagai pejuang bagi bangsa Indonesia," paparnya.

Edi mengatakan BUMN mesti menjadi pusat penampung keuntungan impor dan barang strategis, pendobrak enterpreneurship rakyat jelata, serta menjembatani rakyat usaha kecil dan industriawan kecil menjadi kelas menegah dan atas.

"Kementerian BUMN harus menjembatani disparitas dan pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat karena kementerian terkait lainnya, seperti Kementerian Pertanian dan Kementeria Perdagangan tidak peduli dengan nasib petani. Kementerian Pertanian tidak berpihak kepada petani dan Kementerian Perdagangan selalu mengandalkan impor yang menghabiskan devisa," ujarnya.

Ditegaskan, BUMN juga harus mampu menjadi jembatan bagi enterpreneur dan industriawan baru untuk membangun pemerataan ekonomi. Untuk itu, kalau ada program harus dibuka ke orang baru, jangan ke konglomerat. BUMN mesti jadi jembatan menghapus disparitas dan membangun pemerataan ekonomi bagi rakyat Indonesia. n uyo/E-9

Baca Juga: