Sejak Maret lalu, sudah ada empat bank di Amerika Serikat (AS) kolaps disebabkan dampak normalisasi moneter oleh bank sentral setempat (the Fed).

NEW YORK - Sektor keuangan Amerika Serikat (AS) tak dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Krisis perbankan di Negeri Paman Sam kian meluas sehingga dikhawatirkan berimbas ke sektor keuangan global, termasuk Indonesia.

Belum lama ini, First Republic Bank kolaps setelah sahamnya terjun bebas hingga 50 persen. Alhasil, regulator AS menyita First Republic Bank dan mencapai kesepakatan untuk menjual sebagian besar operasinya kepada JPMorgan Chase & Co, bank terbesar di AS.

First Republic menjadi bank keempat yang jatuh di AS, setelah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan kegagalan bank terbesar kedua di AS setelah kolapsnya Washington Mutual Inc pada 2008.

Tak sampai di sini, gejolak sektor perbankan di AS ditengarai makin meluas. Media setempat, USA Today, Kamis (4/5), melaporkan studi tentang kerapuhan sistem perbankan AS menemukan bahwa 186 bank lainnya berisiko gagal. Bahkan, jika hanya setengah dari deposan mereka yang tidak diasuransikan memutuskan untuk menarik dana mereka.

"Dengan kegagalan tiga bank regional sejak Maret, dan satu lagi tertatih-tatih di tepi jurang, akankah Amerika segera melihat serangkaian kegagalan bank?" tanya laporan itu.

Bloomberg telah melaporkan PacWest Bancorp yang berbasis di San Francisco sedang mempertimbangkan penjualan, dengan nilainya turun dengan margin yang besar.

"Bank-bank regional gagal karena kenaikan suku bunga Federal Reserve yang agresif untuk meredam inflasi telah mengikis nilai aset bank seperti obligasi pemerintah dan sekuritas yang didukung hipotek," catat laporan tersebut.

The Fed menaikkan suku bunga sebesar seperempat persentase poin atau 25 basis poin (bps), Rabu (3/5), dalam langkah ke-10 berturut-turut dalam perang melawan inflasi yang cepat.

Sebagian besar obligasi membayar suku bunga tetap yang menjadi menarik saat suku bunga turun, menaikkan permintaan dan harga obligasi, menurut laporan tersebut. Di sisi lain, jika suku bunga naik, investor tidak akan lagi memilih suku bunga tetap yang lebih rendah yang dibayarkan oleh obligasi sehingga menurunkan harganya.

Banyak bank meningkatkan kepemilikan obligasi mereka selama pandemi, ketika simpanan berlimpah, tetapi permintaan dan imbal hasil pinjaman lemah. Bagi banyak bank, kerugian yang belum direalisasi ini akan tetap di atas kertas. Tetapi yang lain mungkin menghadapi kerugian nyata jika mereka harus menjual sekuritas untuk likuiditas atau alasan lain, menurut Federal Reserve St. Louis.

"Penurunan baru-baru ini dalam nilai aset bank sangat signifikan meningkatkan kerapuhan sistem perbankan AS untuk menjalankan deposan yang tidak diasuransikan," tulis para ekonom dalam makalah baru-baru ini yang diterbitkan di Social Science Research Network.

Risiko "Rush"

Penarikan dana besar-besaran di bank-bank ini dapat menimbulkan risiko bahkan bagi deposan yang diasuransikan dengan nilai deposito 250.000 dollar AS atau kurang di bank. Sebab, dana asuransi simpanan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau semacam Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) di AS, mulai mengalami kerugian.

Tentu saja, skenario ini hanya akan berjalan jika pemerintah tidak melakukan apa-apa. "Jadi, kalkulasi kami menunjukkan bank-bank ini tentu saja memiliki risiko potensial untuk penarikan dana besar-besaran, tidak adanya intervensi atau rekapitalisasi pemerintah lainnya," tulis para ekonom.

Baca Juga: