» FAO perkirakan penduduk dunia tembus 10 miliar pada 2050 sehingga butuh pangan sangat besar.
» Diversifikasi pangan sulit tercapai karena orientasi utamanya masih perdagangan.
JAKARTA - Pemerintah diminta terus mewaspadai perkembangan krisis pangan global yang sudah melanda beberapa negara. Perlunya mewaspadai kondisi tersebut karena di dalam negeri pun sudah ada sinyal krisis pangan yang mulai terlihat.
Pengamat Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jaka Widada, dalam pernyataannya yang publikasikan di laman kampus UGM Yogyakarta menyatakan tanda-tanda krisis pangan sudah ada, ditandai dengan iklim yang tak menentu, hujan ekstrem, bencana alam, dan lain-lain.
Akibat dari perubahan iklim dan berbagai bencana itu, petani mengalami gagal panen karena kebanjiran atau kekeringan, dan ledakan berbagai hama dan penyakit.
"Itu sebenarnya tanda-tanda krisis pangan akan terjadi. Jumlah penduduk terus naik, sementara kenaikan jumlah pangan tidak seimbang dengan kenaikan jumlah penduduk," jelas Jaka.
Bahkan, organisasi pangan dunia (FAO), kata Jaka, telah memperkirakan pada 2050 penduduk dunia tembus 10 miliar. Jumlah penduduk yang sedemikian besar itu tentunya memerlukan pangan yang sangat luar biasa jumlahnya.
Agar tidak terjadi kelaparan yang lebih luas maka harus ada peningkatan produksi pangan dunia. Produksi pangan tersebut idealnya untuk saat ini harus berkisar 70 persen. Jika sebagian negara masih sekitar 10 persen maka bukan persoalan mudah untuk mengejarnya.
"Memang antarnegara yang satu dengan negara yang lain beda-beda. Bisa-bisa di tahun-tahun itu akan banyak tragedi kelaparan juga. Untuk negara-negara seperti Tiongkok, Israel, Amerika, Uni Eropa sejak sekarang sudah mempersiapkan," papar Jaka.
Untuk menghadapi krisis pangan yang mungkin terjadi ini, ada beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, seperti perlu upaya menghadapi perubahan iklim, pengembangan varietas adaptif, persoalan pupuk, perilaku yang tidak boros makanan, dan persoalan regenerasi petani.
Perubahan iklim, jelasnya, memang menjadi kendala tersendiri dalam pertanian. Pemanasan global yang menjadikan suhu lebih panas dan karbon dioksida lebih tinggi menjadi sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian.
Selain menurunkan hasil produksi, kondisi tersebut juga bisa berdampak pada gagal produksi. Persoalan yang dihadapi di antaranya persoalan air. Jika masyarakat saat ini mengandalkan air tanah sebagai sumber pengairan, dikhawatirkan 10 tahun ke depan sumber-sumber air habis dan akan memunculkan kekeringan permanen di sejumlah daerah.
"Apa yang dilakukan PUPR dalam membangun sejumlah embung sudah benar, meski terkadang belum pas karena dilakukan tanpa memperhatikan posisi strategis embung sebagai daerah tampungan air," jelasnya.
Hal lain yang harus dilakukan dengan mengembangkan varietas-varietas tanaman adaptif terhadap perubahan iklim.
Alihkan Kebijakan
Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan ancaman dan fakta mulai munculnya tekanan pada ketersediaan pangan semestinya membuat kebijakan pangan nasional beralih dari perdagangan pangan menjadi produksi pangan.
"Masalahnya penduduk kita itu besar, 260 juta, beda sama Singapura misalnya. Kalau penduduk kita kecil, tidak usah memikirkan produksi, yang penting kita kaya, pasti bisa beli beras. Nah, kalau penduduk banyak, tidak bisa begitu. Meskipun punya duit, tapi kalau barangnya tidak ada, mau bagaimana?" papar Aditya saat dihubungi, Minggu (30/10).
Reorientasi kebijakan penting karena akan berdampak pada seluruh turunan kebijakan. Jika perdagangan diandalkan maka yang utama adalah statistik ketersediaan dan harga. Namun, jika produksi yang utama maka yang diutamakan adalah statistik jumlah lahan, pelaku pertanian, dan jumlah produksi harus terus naik dari tahun ke tahun.
Diversifikasi pangan sampai sekarang relatif sulit tercapai karena orientasi utamanya masih perdagangan sehingga yang penting harga di pasar dunia masih terbeli.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah harus mengakui kalau indeks ketahanan pangan Indonesia sangat rendah.
"Dari Food Security Index 2020, kita hanya berada di rangking ke-65, jauh dibanding dengan negara Asean, seperti Singapura di rangking 19, Malaysia di posisi 43, Thailand di peringkat 51 dan Vietnam 63," kata Esther.