Tetapi kenaikan suhu Bumi dapat membawa berbagai penyakit menular yang dibawa oleh ribuan pengunjung yang berbeda ke Singapura yang menjadi pusat perjalanan global.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change menemukan bahwa perubahan iklim telah memperburuk lebih dari 200 penyakit menular.

Jurnal penelitian yang dipublikasi pada bulan Agustus itu, para peneliti menemukan bahwa 218 dari 375 penyakit menular manusia yang diketahui atau sekitar 58 persen, tampaknya diperburuk oleh salah satu dari 10 jenis cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim.

Secara beriringan, Singapura juga mengalami jumlah kasus demam berdarah yang memecahkan rekor dalam beberapa tahun terakhir yang disebabkan karena suhu terus meningkat.

Hingga Senin (10/10), Singapura bahkan telah mencatat 28.000 kasus demam berdarah. Angka ini lebih dari lima kali lipat dari total kasus yang dilaporkan sepanjang tahun 2021, yaitu 5.258.

"Seiring perubahan iklim, rentang geografis keseluruhan spesies nyamuk juga berubah dan itulah mengapa kami melihat perluasan demam berdarah lebih jauh dari khatulistiwa daripada yang kami miliki secara historis," kata Associate Professor Alex Cook, wakil dekan penelitian di National University. Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock (NUS) Singapura.

Mengutip Channel News Asia, Singapura telah menggunakan berbagai strategi pemberantasan nyamuk untuk memerangi demam berdarah, termasuk fogging dan melepaskan nyamuk Aedes jantan khusus yang berkembang biak dengan nyamuk betina sehingga telur yang dihasilkan tidak menetas.

Namun, mencegah penyakit menular tetap menjadi permasalahan pelik bagi pemerintah Singapura mengingat banyak kasus yang ditularkan dari turis.

"Kami cukup beruntung karena di tempat kami berada, kami tidak mendapatkan semua badai besar dan angin topan, jadi kami tidak rentan terhadap penyakit yang terbawa air," kata Associate Professor Yann Boucher dari Saw Swee Hock School of Kesehatan masyarakat.

"Tapi masalahnya untuk Singapura adalah karena itu adalah pusat perjalanan, penyakit akan datang dari beberapa tempat lain," tambahnya, menunjuk pada penyakit seperti cacar monyet, COVID-19, dan Zika yang semuanya diimpor ke negara itu.

Sementara Singapura telah meningkatkan upaya untuk meningkatkan pengawasan penyakit menular termasuk pengujian air limbah, CNA menuturkan para ahli mengatakan perlu lebih banyak hal yang harus dilakukan untuk memahami apa yang terjadi di negara lain.

Menunjuk pada wabah Streptococcus Grup B pada tahun 2015 di Singapura, yang menyebabkan lebih dari 160 orang dirawat di rumah sakit, Associate Professor Alex Cook menyoroti pentingnya berbagi informasi.

Pada kasus itu, ketika strain yang sama juga telah dilaporkan pada ikan air tawar di negara-negara Asia Tenggara lainnya termasuk Thailand dan Vietnam. Penyelidikan laboratorium menemukan hubungan yang kuat dengan mengkonsumsi ikan air tawar mentah termasuk ikan mas bighead dan snakehead Asia mentah, yang akhirnya membuat Singapura melarang penggunaan ikan air tawar mentah di semua hidangan ikan mentah siap saji.

"Ini adalah contoh yang jelas tentang bagaimana orang akan mendapat manfaat dari mengetahui lebih banyak tentang apa yang terjadi di negara lain," katanya kepada CNA.

Senada, Boucher mengatakan pengawasan penyakit menular perlu dilihat lebih universal daripada terbatas pada setiap negara.

"Anda tidak bisa melawan musuh jika Anda tidak tahu apa itu," katanya.

"Kita perlu tahu apa yang terjadi di negara lain dan bagaimana penyakit itu bisa datang ke Singapura karena penyakit itu akan muncul di tempat lain dan kemudian, melalui perjalanan, itu bisa muncul di sini," tambahnya.

Baca Juga: