Usai Hari Raya Idul Fitri, masyarakat yang tinggal di desa biasanya akan berbondong-bondong datang ke perkotaan, termasuk masyarakat dari wilayah Jabar. Mereka dibawa oleh sanak saudaranya yang pulang mudik dari kota.

Melihat kesuksesan saudara yang pernah tinggal di kota, membuat warga desa pun ingin mengikuti jejaknya. Namun di sisi lain, tidak semua urban mendapatkan kepastian hidup yang layak di kota, tidak memiliki bekal yang cukup dan tidak mendapatkan jaminan pekerjaan yang layak.

Untuk mengupas masalah ini, Koran Jakarta mewawancarai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Jawa Barat, Heri Suherman. Berikut petikannya.

Bagaimana Disdukcapil Jawa Barat menyikapi arus urbanisasi yang akan terjadi?

Arus urbanisasi setiap selesai Idul Fitri selalu menjadi fenomena. Ada hal positif dan juga negatif, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Kita tidak bisa menolak kedatangan warga desa ke kota, sebab di mana ada gula, pasti ada semut yang datang. Kota masih menjadi gula bagi warga desa untuk memperbaiki perekonomian. Tapi, sisi negatifnya adalah ketika datang tidak membawa bekal cukup, bahkan tujuannya pun tidak jelas, hanya ikut saja. Tentunya ini akan menjadikan beban sosial bagi pemerintah daerah yang menjadi tujuan urbanisasi.

Agar urbanisasi tidak terlalu besar, bagaimana mengatasinya?

Pemprov Jawa Barat di bawah pimpinan Gubernur Ridwan Kamil terus membuat berbagai upaya meningkatkan ekonomi desa. Melalui desa digital bahkan meningkatkan BUMDes. Tujuannya agar ada pembangunan didesa, dan tidak membuat warganya ingin pergi. Kan yang paling enak itu tinggal di desa, tapi rezeki kota.

Apa ada upaya khusus untuk mengerem tingginya arus urbanisasi?

Aparat Disdukcapil Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, khususnya daerah tujuan urbanisasi, seperti Kota Bandung dan kawasan industri di Bogor hingga Bekasi tentu memiliki upaya untuk antisipasi lonjakan kedatangan penduduk desa. Sebelum Idul Fitri, mulai 31 Mei melakukan sosialisasi. Lokasi yang dituju adalah pusat keramaian, titik terminal Tipe B Cicaheum dan Leuwipanjang hingga Stasiun Kiaracondong.

Kalau tidak ada kesiapan bagaimana?

Ya, terpaksa jika tidak siap, maka kami akan imbau untuk pulang, atau kami minta surat keterangan dari yang membawa sebagai penanggungjawabnya untuk menjaga dan bertanggung jawab. Walaupun hak semua WNI untuk mencari pekerjaan di mana pun, tetapi tentu saja harus ada upaya bagi kaum urban agar tidak muncul banyak masalah sosial baru di perkotaan, dan menjadi masalah bagi urban itu sendiri. Desa juga kini sedang berbenah dengan bantuan dana desa dan lainnya.

Tren urbanisasi sendiri setiap tahunnya bagaimana?

Tren urban setiap tahun selalu meningkat, tetapi penyebaranya kini lebih luas lagi. Bukan hanya ke Kota Bandung saja, sekarang sudah ke Bogor, Bekasi, dan Depok. Tapi Kota Bandung tetap tujuan utama. Kalau ke Kota Bandung tujuannya untuk berjualan atau bekerja di sektor informal. Ke luar Bandung tujuannya untuk bekerja di industri atau pabrik.

Nah, warga luar Jabar biasanya yang menyukai datang ke lokasi industri itu. Tidak hanya terkait Idul Fitri saja sih. Urbanisasi sepanjang tahun selalu ada, namun memang meingkat usai Idul Fitri. Misalnya di Bogor, dalam setahun ada sekitar 40 ribu pendatang urban yang mencari pekerjaan, di Kota Bandung sekitar 35 ribuan rupiah.

teguh rahardjo/AR-3

Baca Juga: