oleh poltak partogi nainggolan

Setelah hampir dua dasawarsa, akhirnya Indonesia memiliki UU baru yang mengatur sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi (sisnas iptek). Amendemen atas UU No 18/2002 demi merespons kebutuhan masyarakat industri 4.0 ini sudah dimulai tiga tahun belakangan, namun baru bisa dituntaskan 16 Juli 2019 di DPR.

Perdebatan yang berlangsung telah menandai perbedaan pandangan dan kepentingan pemerintah serta parlemen yang dicerminkan beragam pendapat fraksi. Pemerintah sangat berkepentingan agar kegiatan ilmiah mulai dari penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) untuk mendorong kesiapan Indonesia merespons tantangan perkembangan industri 4.0 yang menuntut efisiensi dan produktivitas tinggi.

Untuk itu, perlu pembenahan di segala lini mulai dari perbaikan infrastruktur, SDM, strategi pengelolaan, pembinaan dan pengawasan. Di sini perlu adanya insentif, penghargaan, serta sanksi yang lebih kondusif dan efektif. Target mendorong kembali industrialisasi adalah muaranya. Dengan demikain, negara memiliki income besar dari sektor ini. Ini di luar kekayaan SDA dan potensi SDM.

Pemerintah tidak boleh terus terlena dengan kekayaan SDA karena terus menipis dan bergantung pada utang luar negeri. SDM iptek yang melimpah tidak boleh lagi dibiarkan, tanpa target jelas dan percuma.

Dunia industri (swasta) harus dijadikan mitra kuat yang memiliki kepentingan atas penciptaan iklim iptek kondusif dan SDM andal. Daya saing perusahaan yang meningkat dalam kompetisi global berimplikasi langsung dengan pencapaian laba yang ditargetkan sejak dini. Sebaliknya, perolehan laba yang meningkat optimal harus berperan dalam penyediaan SDM andal.

Sebagai konsekuensinya, daya saing SDM Indonesia di pasar kerja dunia diharapkan meningkat signifikan. SDM andal harus segera muncul dengan penciptaan iklim iptek yang kondusif untuk kegiatan litbangjirap. Ini termasuk rekayasa yang efisien prosesnya dan efektif pencapaian sasarannya.

Selama ini, pemangku kepentingan iptek belum bersinergi baik. Padahal saling membutuhkan demi mendukung kemandirian negeri dan masuknya Indonesia di jajaran G-5 pasca-100 tahun merdeka (2045). Artinya, Indonesia tidak boleh lagi dikatakan 'berpotensi,' namun sudah harus muncul. Ini tidak karena kapasitas geografis, demografis, dan SDA besar yang selalu dibangga-banggakan.

Tapi juga kapabilitas SDM yang andal dalam invensi dan inovasi produk. Bahkan, capaian ini bisa lebih cepat, jika iklim politik domestik sangat mendukung. Dengan sistem demokrasi yang semakin matang mampu mengelola konflik secara baik.

Keterbatasan

Banyaknya Daftar Isian Masalah (DIM) sampai 378 memperlihatkan keterbatasan anggota DPR atas permasalahan litbangjirap yang harus diperbaiki. Munculnya pasal baru hingga menjadikannya total 100, dari semula 81, menunjukkan besarnya masalah yang harus diakomodasi. Tekanan para pemangku kepentingan, terutama peneliti langsung telah memotivasi DPR untuk menghasilkan amendemen UU Sisnas Iptek baru yang jauh lebih baik.

Adakah yang menggembirakan? Pertama-tama, pemahaman tentang proses litbangjirap sudah lebih baik. Pandangan tokoh iptek Prof BJ Habibie sudah diserap. Riset bisa dimulai akhir atau berakhir di awal, sehingga invensi dan inovasi bisa dilakukan secara efisien efektif.

Jadi, proses linier bisa dipotong secara cerdas sesuai dengan kebutuhan. Langkah awal ini saja dapat menghemat uang negara dari proses riset selama ini yang tidak terpilah dan terseleksi dengan baik. Ini menunjukkan duplikasi atau repetisi, tanpa relevansi dengan kebutuhan nasional, apalagi yang mendesak.

Selanjutnya, infrastrukur sisnas iptek telah diperkuat dari dasar dengan peran pemerintah dalam menciptakan dana abadi yang bersumber APBN dari alokasi anggaran pendidikan dan nonpendidikan. Pembiayaan litbangjirap juga bersumber dari badan usaha, laba bersih mereka.

Sementara itu, kepada mereka diberikan insentif pengurangan pajak untuk menghasilkan invensi, inovasi produk, serta penguasaan teknologi baru dan alih teknologi. Dengan dana abadi dan perwalian perusahaan, kegiatan litbangjirap tidak terganggu siklus APBN seperti selama ini.

Di luar ini, pemerintah dan swasta berperan dalam peningkatan pembangunan, perawatan, pengoperasian laboratorium, kawasan litbangjirap, pusdiklat iptek, pusat inovasi, pusat inkubasi, dan fasilitas lainnya. Juga telah disediakan kemudahan akses, perizinan dan keringanan tarif untuk mendukung kegiatan litbangjirap. Dengan UU baru ini, perbaikan database dan perluasan jejaring iptek akan dilakukan.

Secara simultan, perbaikan infrastruktur lewat UU baru ini telah disertai instrumen kebijakan dalam pelindungan SDM untuk bisa produktif dalam jangka panjang, dengan penambahan batas usia pensiun hingga 70 tahun. Itu pun, jika memungkinkan masih bisa dikaryakan, jika memang dibutuhkan karena kecakapan mereka.

Kesejahteraan SDM pun diperhatikan, dengan pemberian jejaring pengaman sosial yang optimal. Di antaranya, lewat jaminan kesehatan, kematian, kecelakaan kerja, hari tua, dan pensiun. Hak kekayaan intelektual juga dihargai dengan skema pembagian keuntungan secara profesional berdasarkan kesepakatan.

Sanksi hanya diberikan terkait dengan pelanggaran izin penelitian asing dan yang bekerja sama dengannya, terkait proses transfer spesimen material dari sumber kekayaan hayati nasional. Ini wajar saja, jika terkait dengan pelaksanaan litbangjirap yang berisiko tinggi, membahayakan manusia dan lingkungan hidup. Apalagi kalau di wilayah rawan konflik sosial atau daerah yang restriktif atas alasan kepentingan negara. Penulis research professor Puslit Badan Keahlian DPR

Baca Juga: