Vitiligo merupakan suatu penyakit kulit yang tidak menular dan berbahaya. Namun sering kali, masyarakat keliru mengenal penyakit ini sebagai penyakit menular atau penyakit yang identik dengan cacat mental atau cacat fisik.

Dari 50 studi di dunia, prevalensi vitiligo di populasi umum dunia berada pada angka 0,5 sampai 2 persen. Vitiligo merupakan penyakit hilangnya warna kulit yang berbentuk bercak-bercak warna putih susu. Luas dan keparahan kehilangan warna kulit dari vitiligo juga tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi di bagian mana pun dari kulit tubuh, termasuk juga rambut dan selaput lendir, semisal pada bagian dalam mulut.

Warna rambut dan kulit ditentukan oleh melanin yang diproduksi melanosit. Sehingga vitiligo terjadi ketika sel-sel yang memproduksi melanin mati atau berhenti berfungsi. Akibatnya, kulit pun tidak memiliki melanin, dan terjadi perubahan yang pertama kali terlihat biasanya adalah pada area yang terpapar sinar matahari, seperti tangan, kaki, lengan, wajah dan bibir.

"Melanosit itu penghasil melanin dan ada di akar rambut dan epidermis. Sementara melanin adalah yang mempengaruhi warna rambut dan warna kulit pada manusia. Semakin gelap warnanya, melanin semakin banyak," kata Dian Pratiwi, Dokter Spesialis Kulit & Kelamin dari Erha Clinic dan Puspa Slimming & Skin Center, Jakarta.

Para penderita pun pada bagian tubuhnya mengalami kehilangan warna kulit pada sebagian atau salah satu sisi tubuhnya. Ia menjelaskan bahwa untuk saat ini penyebab pasti vitiligo masih belum sepenuhnya dipahami. Namun banyak bukti yang menunjukkan bahwa kelainan metabolik, stres oksidatif, respon autoimun dan faktor genetik berkontribusi timbulnya vitiligo. Pada saudara kandung misalnya, apabila menderita vitiligo maka berpotensi memiliki vitiligo juga sebesar 6 persen. Begitupun pada saudara kembar identik yang risikonya bisa mencapai 23 persen.

"Lingkungan juga berpengaruh. Seperti kejadian di India di mana prevalensi vitiligonya mencapai 8,8 yang ternyata setelah ditelusuri diakibatkan dari pekerjaannya. Para pekerjanya banyak di bidang kimia dan salah satu bahannya adalah phenol yang mana bersifat melanotoxic," kata Dian.

Untuk itu, melakukan deteksi dini bisa menjadi salah satu cara guna mengantisipasi terjadinya vitiligo sebelum lesi meluas. Mulai dari mencari tanda-tanda vitiligo seperti kehilangan warna kulit yang merata menjadi putih susu, urban pada rambut di kulit kepala, bulu mata, alis atau janggut, kehilangan warna pada bagian dalam mulut dan hidup, serta kehilangan atau perubahan warna lapisan dalam bola mata."Yang paling sering adalah di daerah yang terpapar sinar matahari, tetapi bisa juga di tempat yang tertutup seperti ada yang di mukosa, di bibir dan gusi," tambah Dian.

Meskipun tidak memiliki dampak kesehatan yang cukup serius, namun apabila dibiarkan terus menerus tanpa proteksi, vitiligo dapat memicu kanker kulit. Itu karena melanin yang berfungsi sebagai protektor pada kulit untuk menetralkan ultraviolet matahari tidak ada akibat terhentinya produksi melanosit. Sebagaimana yang sudah diketahui, sinar ultraviolet dapat memicu pertumbuhan sel kanker di dalam tubuh.

"Untuk itu, bagi penderita vitiligo perlu untuk melindungi kulit terhadap UVA dan UVB dengan menggunakan tabir surya yang kalau bisa anti air. Ikuti pedomannya, jangan terlalu tipis," timpal Ronny Handoko, dari Erha Clinic Jakarta.

Terapi Pengobatan

Vitiligo tidak dapat sembuh total, namun bukan berarti penderitanya tidak memerlukan tindakan. Terapi vitiligo yang dilakukan tidak untuk menyembuhkan, melainkan agar dapat mencegah penyakit tersebut tidak meluas.

"Pada dasarnya, hasil terapi vitiligo ini bukanlah menyembuhkan. Tetapi, pengobatan bisa dikatakan berhasil apabila melanin dapat berfungsi kembali sebagai pigmen kulit gelap, serta mampu melindungi kulit dari sinar UV matahari yang berbahaya," kata Ronny Handoko.

Ronny juga menambahkan apabila pengobatan yang dilakukan memang memiliki tujuan untuk menghentikan progresivitas penyakit, repigmentasi kembali seperti warna kulit normal dan stabilisasi vitiligo agar tidak ada lesi baru yang muncul.

Ada beberapa metode terapi yang semakin berkembang dalam mengatasi vitiligo. Misalnya terapi topical corticosteroid (TCS) dan topical calcineurin inhibitor (TCI) sebagai terapi lini pertama.

"Pengobatan TCS ini dilakukan dengan uji coba selama tiga bulan yang dilakukan sekali setiap hari untuk menstabilkan dan meningkatkan re-pigmentasi," kata Ronny.

Meskipun bersifat paten, sayangnya TCS tidak boleh digunakan terlalu lama karena bisa memberikan efek samping seperti atrofi pada kulit, stretch mark dan munculnya teleangiektasis. Sementara TCI memiliki efek samping yang lebih minim dan terdapat dua bentuk terapi, yaitu salep dan krim.

"TCI sedikit lebih efektif dengan efek samping yang lebih minim dan yang paling sering adalah kulit melepuh. Selain itu juga bisa memunculkan efek kemerahan, gatal dan efek warna kulit lebih gelap sementara," tambahnya.

Untuk terapi lainnya, ada terapi sinar PUVA dan UVB-NB sebagai lini kedua terapi vitiligo, terapi kombinasi, terapi sistemik apabila lesi luas dan cepat berkembang, covering atau penyamaran yaitu sekedar menutupi daerah yang terkena bercak putih yang bersifat sementara, serta depigmentasi yang biasanya dilakukan pada kasus vitiligo universal dengan luas lesi di atas 80 sampai 90 persen tubuh.

"Pada dasarnya, pengobatan terhadap vitiligo tergolong pengobatan jangka panjang dan lama pengobatannya tidak bisa diprediksi. Penderita harus siap untuk menghadapi tantangan pengobatan dan kualitas hidup," kata Ronny.

Meskipun begitu, penyakit vitiligo tidak berdampak pada kesehatan penderitanya atau dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Memang umumnya penderita vitiligo akan merasa kurang percaya diri dengan tampilan fisiknya akibat warna kulit yang tidak merata atau tidak jarang ada yang mengalami depresi.

Tetapi, Winnie Harlow, model fesyen asal Kanada berhasil membuktikan dirinya sebagai salah satu penderita vitiligo yang dapat terus berkarir, khususnya di industri fesyen dan menginspirasi banyak orang. gma/R-1

Baca Juga: