Dahulu saat kesulitan menjual batu bara, pelaku industri tambang mengemis ke PLN, tetapi sekarang karena harga komoditas global naik, mereka enggan menjualnya ke BUMN listrik tersebut.

JAKARTA - Pasokan batu bara untuk kelistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN terancam terganggu seiring kenaikan harga komoditas tersebut di pasar global. Karena itu, PLN perlu menghentikan pembelian listrik dari pembangkit batu bara dan beralih ke listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT).

Pengamat Ekonomi, Salamudin Daeng, mengatakan jika kebijakan domestic market obligation (DMO) dihapuskan, jalan keluar bagi PLN sekarang tinggal satu yakni mengoptimalkan pembangkit miliknya sendiri. Menurut dia, kemampuan pembangkit EBT milik PLN dan anak usahanya cukup untuk menenuhi konsumsi saat ini, ditambah dengan pembelian dari swasta.

"PLN harus melakukan renegosiasi untuk menghentikan pembelian listrik dari pembangkit batu bara dengan alasan tidak ramah lingkungan dan komitmen pemerintah untuk menekan emisi menuju pertemuan G20 di Bali mendatang," ucapnya pada Koran Jakarta, Rabu (10/8).

Dengan demikian, lanjut Daeng, perusahan swasta pemilik pembangkit dan juga pemilik tambang batu bara mulai sekarang dapat membangun jaringan listrik sendiri dalam rangka menjual listrik mereka ke masyarakat.

Dia menegaskan, ke depan sebenarnya nasib batu bara pun di ujung tanduk. Karena sekarang ini industri perbankan internasional sudah dilarang membiayai tambang dan pembangkit batu bara. Tinggal perbankan di dalam negeri yang masih mengandalkan pasar kredit mereka ke sektor tambang dan pembangkit batu bara.

"Selain itu, rezim pajak karbon iklim akan memberi tekanan yang besar sekali di masa mendatang kepads Indonesia. Mulailah berbenah," ujarnya.

Terkait potensi terganggunya pasokan batu bara untuk kelistrikan PLN ini, menurut Daeng, perusahaan swasta lupa diri karena harga batu bara global meningkat. "Dahulu, mereka kesulitan jual batu bara dan mengemis ke PLN. Sekarang karena harga batu bara global naik, mereka enggan menjual ke PLN. Padahal, oligarki batu bara lah yang paling diuntungkan oleh program pemerintah di bidang ketenagalistrikan selama lebih dari satu dekade terakhir," ujarnya.

Dia menambahkan, sejak megaproyek 35 ribu megawatt yang sebagian besar dibiayai dengan belanja PLN, sejak saat itu PLN menjadi sangat bergantung pada batu bara. Karena sebagian besar pembangkit di tanah air adalah pembangkit batu bara. Lebih dari 70 persen kapasitas pembangkit yang ada.

Beri Sanksi

Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menonaktifkan fitur ekspor dalam aplikasi Minerba Online Monitoring System (MOMS) bagi 29 perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO kepada industri semen dan industri pupuk.

"Dari 50 perusahaan yang belum melaksanakan penugasan sebanyak 29 perusahaan fitur ekspor pada aplikasi MOMS telah dinonaktifkan," kata Menteri ESDM, Arifin Tasrif, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, di Jakarta, Selasa (9/8).

Arifin menjelaskan alasan 21 perusahaan lainnya yang belum melaksanakan penugasan dengan rincian dua perusahaan dalam sanksi penghentian sementara, lima perusahaan spesifikasi tidak sesuai kebutuhan industri semen dan pupuk, satu perusahaan terkena kasus hukum dan 13 perusahaan dalam proses (menunggu tanggapan Asosiasi Semen Indonesia), pembicaraan dan proses analisa kualitas, dan sedang melakukan negosiasi dengan industri semen serta pupuk.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, ada 94 perusahaan yang mendapatkan penugasan DMO untuk industri pupuk dan industri semen, namun hanya 44 perusahaan saja yang dapat memenuhi kewajiban DMO tersebut.

Baca Juga: