Filsuf Prancis, Piaget, pernah mengatakan bahwa semakin cerdas seseorang membawa konsekuensi, tambah tinggi tingkat moralitasnya. Dengan kata lain, semakin pinter seseorang, mestinya tambah bermoral. Namun, apakah pernyataan tersebut sesuai dengan realita alias kenyataan?

Orang cerdik pandai memang diandaikan memahami banyak, juga masalah moral. Orang pinter mestinya menguasai moral. Secara logika dan intelek, dia mungkin saja memahami nilai-nilai moralitas. Akan tetapi, apakah mereka menjalankan dan menjadikan nilai tersebut sebagai milik, tentu tiap orang berbeda. Orang yang sesuai dengan anggapan Piaget tentunya memahami juga mesti menjalankan dan menjadikan miliknya.

Mahasiswa termasuk salah satu (calon) kaum cerdik pandai, mereka telah melewati pendidikan dasar dan menengah. Mereka berada pada tataran pendidikan tinggi. Namanya saja "maha" - jauh lebih tinggi dari (sekadar) siswa. Itulah yang mestinya terjadi pada diri seorang mahasiswa. Bullying atau mengejek atau ngledek, sesungguhnya bukan kejahatan. Dia juga bukan sesuatu yang harus dilarang. Sebab kadang perlu juga ledekan, tetapi yang sehat. Ledekan bisa menggairahkan, walau kalau kelewatan bisa membuat sakit hati sungguhan sang korban.

Meledek mestinya sama-sama "antarapel." Posisinya dalam kondisi setara, sama-sama "normal". Jangan orang "normal" meledek orang yang berkebutuhan khusus. Ini namanya bisa diartikan menghina. Malahan anak-anak berkebutuhan khusus semestinya diberi perhatian lebih, dibantu, ditolong, dan dihormati lebih dari orang "normal".

Maka, kalau ada mahasiswa yang meledek (mem-bully) sesamanya yang berkebutuhan khusus jelas itu sebuah penghinaan. Mahasiswa yang mem-bully mahasiswa berkebutuhan khusus (seperti autis) jelas sangat tidak bermoral dan tidak mengindahkan tata pergaulan. Orang pandai seperti mahasiswa mestinya sudah bisa membedakan siapa yang bisa diledek (untuk bercanda), jangan asal.

Sebuah video memperlihatkan aksi bullying kepada seorang pemuda yang diduga berkebutuhan khusus. Rekaman ini ramai beredar di media sosial dan menjadi viral. Dalam video tersebut, tas korban ditarik oleh seorang mahasiswa. Korban pun berusaha untuk melepaskan diri hingga terhuyung. Akhirnya, korban berhasil lepas dan sempat melemparkan tong sampah kepada pelaku. Para mahasiswa lainnya yang melihat kejadian ini bukannya menolong malah ikut menonton sambil bertepuk tangan.

Kesalahan tidak hanya pada pelaku, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Sebab, mereka bukan melarang tindakan melecehkan, tetapi malah ikut tertawa. Jadi, orang-orang sekitar ikut menikmati dan menjadikannya sarana bergembira. Ini juga tindakan bullying, walau tidak secara langsung. Tetapi secara emosional, orang-orang sekitar terlibat. Mereka membiarkan berarti mengizinkan. Mestinya mereka bisa mencegah, tetapi tak dilakukan.

Di luar negeri, pelajar atau mahasiswa berkebutuhan khusus "sangat-sangat" dihormati. Bahkan, orang-orang "normal" seakan berebut untuk melayani dan membantu agar yang berkebutuhan khusus tidak mendapat kesulitan. Orang-orang sekitar berusaha melayani. Inilah yang semestinya juga terjadi di kampus-kampus Indonesia. Bagaimana kelak kalau mereka lulus dan terjun di masyarakat, kalau selagi mahasiswa berlaku melecehkan orang-orang berkebutuhan khusus?

Marilah kita di mana pun semakin memberi ruang lebih kepada sesama yang bukan kehendak sendiri mereka menyandung status "berkebutuhan khusus". Mereka harus kita tempatkan di tempat lebih tinggi dari orang-orang "normal." Tidak boleh ada lagi pelecehan terhadap mereka. Setop bullying terhadap kaum difabel.

Baca Juga: