TOKYO - Setelah India sukses melakukan pendaratan di Bulan, program luar angkasa Jepang berharap bangkit dari serangkaian kemunduran dengan melakukan peluncuran "Moon Sniper", minggu depan.
Roket tersebut akan membawa alat pendarat yang diperkirakan akan mencapai permukaan Bulan dalam empat hingga enam bulan, serta satelit pencitraan x-ray yang dirancang untuk menyelidiki evolusi alam semesta.
Peluncuran dijadwalkan berlangsung Senin setelah tertunda sehari karena cuaca buruk, kata Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang (JAXA) pada Jumat (25/8).
Program luar angkasa Jepang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Namun upaya pertamanya melakukan pendaratan di Bulan gagal pada November 2022. Sebuah roket jenis baru juga meledak saat pengujian bulan lalu.
Harapan JAXA kini terpusat pada "Smart Lander for Investigating Moon (SLIM)".
Sesuai dengan akronimnya, SLIM berukuran kecil dan ringan, dengan tinggi 2,4m, lebar 2,7m, dan panjang 1,7m, serta berat sekitar 700kg.
Dijuluki "Penembak Jitu Bulan" karena ketepatannya, JAXA bermaksud mendaratkannya dalam jarak 100m dari target tertentu di Bulan, jauh lebih kecil dari jarak biasanya yang hanya beberapa kilometer.
Menggunakan penjelajah mini seukuran telapak tangan yang dapat berubah bentuk, wahana yang dikembangkan bersama perusahaan mainan tersebut bertujuan untuk menyelidiki bagaimana Bulan terbentuk dengan memeriksa potongan mantel Bulan yang terbuka.
"Pendaratan di Bulan masih merupakan teknologi yang sangat sulit," kata Shinichiro Sakai dari tim proyek SLIM kepada wartawan pada Kamis (24/8) sambil memberikan penghormatan atas keberhasilan India.
"Untuk mengikutinya, kami akan melakukan yang terbaik dalam operasi kami," kata Sakai.
Kesuksesan India
Pada Rabu (23/8), India mendaratkan pesawat luar angkasa di dekat kutub selatan Bulan, sebuah kemenangan bersejarah bagi negara berpenduduk terpadat di dunia dan program luar angkasa berbiaya rendah.
Sebelumnya, hanya Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok yang berhasil menempatkan pesawat luar angkasa di permukaan Bulan, dan tidak ada satu pun yang berhasil mendarat di kutub selatan.
Keberhasilan India tersebut terjadi beberapa hari setelah misi Rusia gagal di wilayah yang sama. Sebelumnya selama empat tahun, upaya India gagal di saat-saat terakhir.
Jepang juga telah mencoba sebelumnya, tahun lalu mencoba mendaratkan wahana antariksa bernama Omotenashi, yang dibawa dengan Artemis 1 milik NASA. Namun misi tersebut gagal dan komunikasi terputus.
Dan pada April, perusahaan rintisan Jepang, ispace, gagal dalam upaya ambisiusnya untuk menjadi perusahaan swasta pertama yang mendarat di Bulan. Pesawat kehilangan komunikasi setelah "pendaratan keras".
Jepang juga mempunyai masalah dengan peluncuran roket, seperti kegagalan peluncuran model H3 generasi berikutnya pada Maret lalu dan Epsilon berbahan bakar padat yang biasanya dapat diandalkan pada Oktober.
Bulan lalu, pengujian roket Epsilon S, versi perbaikan dari Epsilon, meledak 50 detik setelah penyalaan.
Angin Plasma
Roket H2-A yang diluncurkan dari Tanegashima di Jepang selatan pada hari Senin juga akan membawa Misi Pencitraan dan Spektroskopi Sinar-X (XRISM) yang dikembangkan oleh JAXA, NASA, dan Badan Antariksa Eropa.
Pengamatan spektroskopi sinar-X resolusi tinggi satelit terhadap angin plasma gas panas yang berhembus melalui alam semesta akan membantu mempelajari aliran massa dan energi serta komposisi dan evolusi benda-benda langit.
"Ada teori bahwa materi gelap mencegah galaksi berkembang," jelas manajer proyek XRISM Hironori Maejima.
"Pertanyaan mengapa materi gelap tidak berkumpul, dan kekuatan apa yang menyebarkannya, diharapkan dapat diklarifikasi dengan mengukur plasma menggunakan XRISM."