Raja Mongkut atau Rama IV merupakan penggemar astronomi.

Raja Mongkut atau Rama IV merupakan penggemar astronomi. Kecintaannya pada dunia ini ia perdalam ketika berada di biara Buddha dengan memodernisasi perhitungan kuno Siam yang kurang akurat.

Pada tanggal 18 Agustus 1868, gerhana Matahari akan melintas tepat di atasnya. Mengingat kembali hari-harinya sebagai seorang biksu, Mongkut mulai menghitung waktu pasti terjadinya gerhana dan berapa lama periode kegelapan total (totalitas) akan berlangsung di Siam.

Perhitungan seperti itu merupakan pekerjaan yang pelik pada saat itu karena membutuhkan perhitungan yang rumit tentang kecepatan dan lintasan Bulan dan Matahari yang tepat di langit. Ada lusinan variabel yang harus diperhitungkan dan bahkan kesalahan kecil pun dapat merusak seluruh hasil.

Namun, Mongkut telah mempelajari astronomi dengan baik. Ia menentukan bahwa "kerucut bayangan" kegelapan maksimum akan menyapu desa hutan kecil Wakor di Siam selatan. Ia menghitung lamanya totalitas adalah 6 menit, 46 detik.

"Untuk memeriksa hasilnya, ia menghubungi beberapa astronom Prancis di wilayah tersebut. Mereka mengatakan kepadanya bahwa ia hanya meleset dua detik. Cukup mengesankan untuk seorang amatir," tulis Sam Kean penulis sains terlaris dan pengarang buku The Icepick Surgeon: Murder, Fraud, Sabotage, Piracy, and Other Dastardly Deeds Perpetrated in the Name of Science pada laman Science History.

Di antara para pejabat di Siam, gerhana tersebut tidak menimbulkan banyak kehebohan. Bahkan, para astrolog kerajaan mencoba menghalangi raja untuk bepergian untuk melihat gerhana. Namun Mongkut mengabaikan saran mereka. Ini adalah ilmu pengetahuan, bukan takhayul. Ia tidak bisa melewatkan salah satu peristiwa astronomi terbesar dalam hidupnya.

Desa Wakor terletak di tengah pegunungan terjal di dataran banjir yang rendah dan subur. Mongkut membawa seluruh pengiringnya, termasuk putranya, pewaris takhta, serta puluhan pelayan dan sekawanan gajah. Ia bergabung dengan tim astronom Prancis dan pejabat kolonial Prancis dan Inggris yang seperti serangga menyerbu desa hutan ini.

Ketegangan apa pun di antara kedua kubu dikesampingkan hari itu. Semua orang hanya menikmati keajaiban kegelapan gerhana yang sangat kontras, penurunan suhu yang tiba-tiba, suara monyet dan burung yang kebingungan serta bunyi serangga.

"Tidak seperti peristiwa lainnya, gerhana membuat Anda sadar bahwa Anda berada di benda angkasa di sebuah planet yang berputar di antara planet-planet lain, dengan kecepatan dan jarak yang tak terduga. Anda berdiri dengan kagum di hadapan kosmos," ungkap dia.

Mongkut sangat senang karena prediksinya yang tepat. Ia pun merayakan kemenangan ini sebagai salah satu hari besar dalam hidupnya. Sayangnya, itu juga akan menjadi salah satu hari terakhir dalam hidupnya.

Ketika ia dan para astronom menenggak sampanye dan berpesta, kawanan serangga memangsa mereka termasuk nyamuk pembawa malaria. Mengingat nyamuk paling aktif saat senja dan fenomena gerhana menghasilkan senja palsu yang membingungkan hewan, mungkin itu terjadi selama gerhana. "Terlepas dari itu, kita tahu seekor nyamuk menggigit Mongkut di suatu waktu selama perjalanan ke Wakor, dan mikroba malaria masuk ke aliran darahnya," tulis Kean.

Awalnya Mongkut tidak akan menyadarinya karena malaria butuh beberapa hari untuk muncul, dan Mongkut bukan satu-satunya korban. Beberapa pejabat Inggris dan Prancis juga jatuh sakit, begitu pula putra raja, Pangeran Chulalongkorn. Namun sementara kebanyakan orang berhasil selamat, termasuk sang pangeran, Mongkut tidak.

Raja Mongkut meninggal enam pekan setelah ekspedisi. Ironisnya, para astrolog istana Mongkut terbukti benar gerhana itu memang menjadi malapetaka baginya. "Ironisnya lagi, meskipun ia mengagumi sebagian besar ilmu pengetahuan Barat, Mongkut menolak pengobatan malaria bahkan di ranjang kematiannya," kata Kean.

Namun, meskipun ketertarikannya pada astronomi merenggut nyawa raja, hal itu juga membantu menyelamatkan kerajaannya. hay/I-1

Baca Juga: