Banyak objek wisata yang khas di Balikpapan, antara lain peternakan buaya di Teritip, Beruang Madu di KM23, Kebun Raya Balikpapan yang terluas di Indonesia di KM15, Bukit Bangkirai dengan canopy bridge-nya yang indah, Borneo Orang Utan Survival di Samboja dan yang terakhir adalah Mangrove Center di Giri Indah, Kariangau-Batu Ampar..
Kali ini saya dan kawan-kawan editor media cetak dan elekronik yang tergabung dalam MEDIA EXPERT MEETING, bersama Biro Humas MPR RI, mengunjungi Mangrove Center di Giri Indah Kariangau, Balikpapan, beberapa waktu lalu. Selain dapat menikmati sensasi berperahu menyusuri Sungai Somber, kami juga bisa menyaksikan bekantan, yang dijuluki monyet hidung Belanda.
Saya dan rombongan sangat menikmati hutan yang cukup lebat dan rapat di anak Sungai Somber itu. Dari dermaga tempat perahu bertambat sudah terasa sensasinya. Salah seorang sahabat saya yang sok tahu --padahal ia belum pernah berpetualang ke Sungai Amazon -- mengatakan perjalanan berperahu di anak Sungai Somber ini bagaikan trip di Amazon. Saya hanya tersenyum mendengar ocehan rekan saya itu. Terus terang saya belum pernah ke Sungai Amazon. Tapi dari literatur yang saya baca, ekosistem Sungai Amazon sudah rusak 60 persen. Anak Sungai Somber masih perawan. Itulah bedanya.
Bagi saya, kawasan Mangrove Center di Giri Indah, Kariangau-Batu Ampar itu memiliki daya tarik sendiri. Selain sangat dekat dengan kota, dan dapat dengan mudah melihat monyet hidung Belanda khas Kalimantan, saya juga bisa bertemu langsung dengan inisiator kawasan ini, Agus Bei
yaitu Agus Bei.
Penerima Kalpataru 2017 bercerita kepada saya. Saat dia mulai menanam mangrove di sungai di belakang perumahan di Giri Indah, Kariangau-Batu Ampar itu, kesempatan melihat Nasalis Larvatus (bekantan) adalah peristiwa langka.
"Kini pengunjung dapat setiap saat melihat hewan langka itu," kata Agus sambil menunjuk seekor Nasalis Larvatus yang sedang bertengger dengan nyaman di dahan-dahan pohon bakau di Mangrove Center di Giri Indah itu.
Pemandu membelokkan perahu agar kami bisa melihat kawanan bekantan yang sedang bergelantungan di antara pohon bakau. Semakin dekat dan semakin dekat. Saya berharap agar bekantan itu tidak pergi saat perahu kami berhenti dan mendekat ke pinggir sungai itu . Wow, amazing, Nasalis Larvatus itu lucu sekali. Dia melompat dari ranting yang satu ke ranting yang lain.
"Hidung Belandanya terlihat dengan jelas. Mancung. Beda jauh dengan hidung kamu," kata editor media kepada seorang rekan kami dalam rombongan perjalanan ini. Kami semua tertawa terbahak -bahak.
Di sungai Somber ini, dalam jarak dekat, sekitar 15 meter, saya bisa melihat 'bekara' dengan hidung Belanda yang menggemaskan itu bagai Tarzan, melompat-lompat antar dahan pohon. Kami melihat bekantan itu kegirangan menyambut setiap orang yang ingin memotretnya. Seakan ia tahu, bahwa tamunya sudah lama 'rindu ' pada dirinya.
Dalam perjalanan pulang, saya berdoa agar rekan-rekan editor di rombongan kami ini dalam menulis mangrove dan bekantan ini dari sudut yang berbeda di tempat kerjanya masing -masing. Untuk apa liputan itu? Untuk menyebarluaskan pemahaman, agar kita selalu menjaga mangrove dan membebaskannya dari kerusakan, baik oleh alam, manusia, termasuk juga tumpahan minyak, tentunya. ril/R-1
Pejuang Hutan Mangrove dari Balikpapan
Sebagian orang menganggap tumbuhan mangrove sebagai pohon biasa, seperti apa adanya. Namun tidak demikian bagi Agus Bei. Baginya mangrove begitu spesial. Pohon mangrove itu unik sekali. Tumbuhan ini mempunyai tekstur akar yang mencengkeram ke dalam lumpur. Jika diterpa angin kencang, mangrove tetap berdiri kokoh.
"Saya berkesimpulan bahwa akar mangrove yang begitu mencengkram ke dalam lumpur kuat menahan abrasi pantai dan hempasan angin yang cukup kuat. Pohon itu dapat bertahan berdiri tegak dan kokoh sampai mencapai ketinggian 40 meter. Tekstur akarnya juga cukup menarik saling bersilang mengikat antar pohon satu dengan pohon lainnya," kata pria kelahiran Desa Kebun Rejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur itu kepada Koran Jakarta.
Pada 2001 kerusakan hutan mangrove mengakibatkan dampak lingkungan yang luar biasa di tempat tinggalnya, di wilayah Perumahan Graha Indah. Mangrove tidak bisa lagi menghalangi hempasan angin dari arah laut (angin puting beliung) dan merusak hampir 300 rumah. Turunnya permukaan tanah daratan (abrasi) berakibat tidak ada lagi penghalang laju pasang surut air laut. Tidak banyak lagi ranting tempat hinggap burung, bahkan saaat suasana sepi tidak lagi terdengar kicauan burung bernyanyi, tidak ada lagi penghalang terik panasnya matahari.
"Yang terlihat hanyalah batang yang malang melintang tak tentu arah, kayu tak dapat dimanfaatkan kecuali dipakai untuk arang," ujarnya.
Saat itu Agus hanya bisa menatap hutan mangrove yang habis ditebang dibiarkan tergeletak. Dalam hatinya dia berkata, tak akan ada yang berubah apabila tidak melakukan aksi perbaikan.
Baginya mangrove adalah penyangga utama garis pantai, pembatas atau pagar pengamanan, dan mempunyai peran terhadap kesinambungan makhluk hidup lainnya. Menjaga ekosistem mangrove dapat memberikan manfaat dan mengurangi dampak lingkungan.
Hutan mangrove berfungsi sebagai perlindungan habitat flora dan fauna seperti kepiting, udang, kerang dan ikan sebagai tempat memijah, berkembang biak. Hutan mangrove juga berfungsi untuk pencegahan bencana, tsunami, abrasi, pelindung angin, penyerap CO2 dan penyuplai oksigen, dan pertahanan alami terhadap perubahan iklim.
Selain itu hutan mangrove juga memiliki daya tarik keindahan sebagai potensi ekowisata yang bernilai ekonomi dan sosial budaya. Bagi para peneliti dan para pelajar, Hutan Mangrove adalah sarana pengetahuan alam, sarana edukasi bagaimana melestarikan alam sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Itulah yang mendorong Agus ingin merawat hutan mangrove di belakang rumahnya di Perumahan Graha Indah, Kariangau-Batu Ampar. Kegigihannya itu pulalah yang membawa dirinya menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden pada 2017.
"Penghargaan itu bukan akhir dari suatu peran, bagi kami ini adalah awal dari suatu kegiatan untuk menuju peran yang lebih besar dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Tujuh belas tahun adalah proses perjalanan yang kami lalui. Kami ingin berbuat untuk semua orang ketika saat itu tidak banyak orang yang mempedulikan kerusakan lingkungan akibat ulah dan keserakahan manusia," pungkas Agus. ril/R-1