Jalan-jalan ke Wonosobo, Jawa Tengah, rasanya kurang lengkap kalau tidak mampir di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Tinggi Dieng ini ada lokasi wisata alam yang menakjubkan, yang dikenal dengan sebagai Bukit Pandang Batu Ratapan Angin.

Dieng merupakan bekas gunung vulkanik purba yang sudah tidak aktif lagi, dalam sebuah bekas letusan gunung akan meninggalkan sisa pahatan alam berupa bukitbukit, bebatuan yang menonjol tak beraturan dan tebing-tebing yang artistik seperti halnya dengan Batu Ratapan Angin yang berada di atas Telaga Warna. Batu Ratapan Angin di ketinggian 2.010 meter di atas permukaan laut.

Dataran Tinggi Dieng atau Dieng Plateau selain memiliki pegunungan dan perbukitan yang berderet indah, di sana terdapat kumpulan candi, gua-gua alam, dan telaga-telaga yang menawan.

Keindahan Telaga Warna dengan warna air yang kerap berubah ini bisa terlihat dengan jelas dari Batu Ratapan Angin ini menjadi salah satu tempat berfoto terbaik di Dieng.

Keindahan panorama yang tersaji di sana juga sangat pas sebagai latar belakang foto. Di wisata Batu Ratapan Angin bisa berburu spot selfie sesuka hati. Banyak area foto yang keren untuk dijadikan sebagai latar belakang.

Mulai dari bebatuan alam atau tebing, lalu foto dengan background telaga warna dari ketinggian. Keindahan Batu Ratapan Angin tidak sekadar bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari ketinggian saja. Dari sini juga bisa melihat eksotisnya tebing-tebing batu di bukit-bukit sekitarnya. Bahkan, juga bisa melihat Candi Bima, Kawah Sikidang, dan Tempat Eksplorasi Gas Pertamina.

Bila ingin sensasi, turun dari lokasi Batu Pandang ini pengunjung bisa mencoba wahana flying fox. Foto menjadi semakin eksotis bila mencoba juga wahana Jembatan Merah Putih yang lokasinya tepat di atas Batu Ratapan Angin, yaitu sekitar 50 meter. Jembatan gantung ini menghubungkan dua bukit di dekat Batu Ratapan Angin.

Embusan angin yang kencang dan menimbulkan suara mendesis seperti orang meratapi kesedihan, barang kali itulah kenapa dua buah batu ini diberi nama batu ratapan.

Tapi, nama sebuah tempat biasanya selalu dikaitkan dengan sebuah cerita legenda, seperti halnya batu ratapan ini yang dikaitkan dengan cerita tentang kesetiaan dan pengkhianatan.

Konon, di masa lalu hidup seorang Pangeran tampan dan Putri jelita yang menjadi pasangannya, mereka hidup rukun damai dengan penuh cinta, perjalanan hidup mereka pun sering menjadi bahan cerita di manamana bahkan dijadikan teladan hidup bagi rakyatnya.

Lalu, datanglah cobaan hidup yang sangat berat dengan hadirnya orang ketiga, menggoda sang Putri, cinta segitiga mulai muncul dan mengganggu hubungan keduanya, sang Putri yang semula setia mulai goyah dan terjerat dalam hubungan asmara terlarang, pengkhianatan serta kebohongan muncul menutupi perselingkuhan antara sang Putri dengan kekasih gelapnya.

Namun, kabar perselingkuhan mulai beredar dan sang pangeran secara sembunyi-sembunyi menyelidiki sendiri tentang kebenaran cerita yang disampaikan oleh beberapa ajudannya.

Bagai disambar petir, betapa kagetnya sang Pangeran ketika menyaksikan sendiri pasangan hidupnya sedang memadu kasih dengan kekasih gelapnya di hutan sebelah atas Telaga Warna.

Sang Putri yang dipergoki panik menyaksikan kedatangan suami yang telah dikhianatinya. Percekcokan terjadi antara ketiga orang tersebut, berkali-kali sang Putri memohon maaf pada sang pangeran sambil menangis dan meratap-ratap, akan tetapi kekasih gelap sang putri justru melakukan tindakan keji dengan berusaha membunuh sang Pangeran. Sang Pangeran yang terkenal sakti mandraguna menjadi murka dan mengerahkan Ilmu yang dimilikinya untuk melawan perebut istrinya itu.

Angin puting beliung yang sangat dahsyat terjadi di lokasi tersebut, banyak pohon tercerabut dari akarnya, perbukitan itu porakporanda, di sela-sela kemurkaannya sang pangeran mengutuk keduanya menjadi batu, beberapa lama kemudian sang putri berubah menjelma menjadi batu yang terduduk dan kekasih gelapnya berubah menjadi batu yang berdiri.

Setelah kejadian tersebut, beberapa lama kemudian sang Pangeran masih sering mengunjungi lokasi ini untuk memastikan keduanya masih ada di sana sebagai pelajaran untuk rakyatnya tentang kejujuran dan pengkhianatan.

Angin di bukit ini terkadang bertiup kencang dan membentur dinding-dinding bukit yang kemudian menimbulkan suara aneh, "Ini adalah suara ratapan penyesalan dari keduanya" kata sang pangeran kepada rakyatnya, lalu sejak saat itu, kedua tonggak batu tersebut di namakan batu ratapan angin.

Posisi batu yang tinggi dan dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar menghasilkan bunyi yang unik. Angin yang berputar dan menghembus daun-daun pepohonan menghasilkan bunyi gemerisik halus seperti siulan dan ratapan.

Pendakian Kecil

Batu Pandang Ratapan Angin berlokasi di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Jika ditempuh dari pusat Kota Wonosobo, jaraknya sekitar 27 kilometer dengan waktu tempuh kurang-lebih satu jam.

Rute menuju Batu Pandang Ratapan Angin Menuju Batu Pandang Ratapan Angin termasuk mudah. Akses masuk obyek wisata ini tidak jauh dari lokasi wisata Telaga Warna.

Bila sampai pertigaan Selamat Datang di Dieng yang dindingnya bertuliskan Dieng, belok kiri atau ke arah selatan sejauh 1,5 kilometer sampai sebuah pertigaan yang merupakan perbatasan Kabupaten Wonosobo dengan Banjarnegara.

Sebelum pertigaan ada area parkir dan loket ke Telaga Warna. Perjalanan dilanjutkan dengan belok kiri, jangan masuk jalan yang terdapat gapura. Belok kiri ini adalah jalan menuju Dieng Plateau Theater dan Batu Ratapan Angin. Jalan ini juga merupakan rute menuju Sikunir. Selanjutnya belok kiri lagi di sebuah pertigaan.

Jalan itu nanti akan mengarah ke Dieng Plateau Theater dan Batu Pandang Ratapan Angin. Di sana ada papan penunjuk jalan untuk sampai ke dua obyek wisata tersebut sehingga tidak perlu khawatir tersesat.

Menjelang sampai obyek wisata Batu Pandang Ratapan Angin, ada pos retribusi. Di sini pengunjung harus membayar tiket masuk atau parkir kendaraan. Untuk sepeda motor disediakan juga jasa titip helm.

Ini akan lebih aman jika dititipkan, terlebih saat sedang ramai pengunjung. Dari area parkir, perjalanan menuju Batu Pandang Ratapan Angin dilanjutkan dengan berjalan kaki. Meniti anak tangga, dan menyusuri jalan kecil yang mendaki. Jarak tempuhnya tidak jauh. Tidak lama tiba di loket retribusi di tengah perjalanan.

Pengunjung harus membayar tiket masuk Batu Pandang Ratapan Angin sebesar 10 ribu rupiah per orang. Tiket itu hanya berlaku untuk masuk kawasan obyek wisata ini saja.

Sementara itu, ada beberapa spot foto di dalam kawasan Batu Pandang Ratapan Angin yang berbayar. Pengunjung harus membayar lagi untuk bisa berfoto di sana.

Dari pos penjagaan atau loket pembayaran tiket dilanjut dengan melewati jalan setapak berbatu. Jalannya cukup menanjak dan berdebu. Jarak dari pos menuju Batu Pandang adalah sekitar 100 meter dengan jarak tempuh sekitar 10-15 menit.

Saat melangkah pengunjung berada di tengah-tengah lahan perkebunan kentang dan wortel. Pemandangan hamparan lahan perkebunan ini cukup menyenangkan.

Rasa lelah menaiki jalan setapak menanjak tak akan terasa. Bila lelah, bisa mampir di warung yang ada di tengah perjalanan. Minuman hangat dan pisang goreng tersedia.

Duduklah sejenak dan nikmati minum teh atau kopi di sini. Sesampainya di puncak Bukit Pandang Batu Ratapan Angin, suguhan alam semakin istimewa keindahannya.

Karena tempat pandangnya terbatas, maka pengunjung diminta bergantian atau bergilir untuk bisa foto dari puncak batu tersebut. Angin yang bertiup mampu mengeringkan keringat lalu arahkan kamera ke berbagai pemandangan di bawah sana. Kentang Goreng Selain tempat wisata yang unik dan eksotik, yang tak kalah menarik adalah wisata kuliner di sekitaran Dieng.

Pelancong direkomendasikan tidak melewatkan mencoba purwaceng, si "ginseng jawa" atau carica, buah endemik Dieng yang olahannya banyak dijual sebagai makanan ringan.

Kentang Dieng kualitasnya baik, daya tahannya lebih bagus di banding dengan kentang daerah lain. Kadar air yang rendah membuat kentang Dieng tidak mudah busuk. Selain itu, kandungan karbohidrat dan juga gulanya rendah.

Salah satu kentang unggulan di sini adalah kentang Granola yang cocok diolah menjadi kentang goreng. Jangan bandingkan dengan kentang goreng seperti di restoran cepat saji.

Potongan kentang goreng Dieng cukup besar dan tebal. Sentuhan modern dari kentang goreng ini adalah serbuk penyedap rasa yang ditaburkan sesuai keinginan pembeli. Olahan kentang lainnya bisa ditemui di sekitar Telaga Warna.

Jika kentang Dieng berukuran besar diolah menjadi camilan kentang goreng, ada kentang berukuran kecil yang disebut "rindil" oleh warga setempat diolah menjadi makanan berbeda.

Kentang dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih, garam, gula merah, dan cabai. Rasanya tidak begitu pedas dan dominan rasa manis. Kentang ini enak disantap dengan didampingi minuman hangat atau dingin. ars/R-2

Baca Juga: