Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU). UU tersebut bertujuan untuk memperlancar poses investasi di Indonesia sehingga memperluas lapangan pekerjaan.
Namun, banyak kalangan menyayangkan bahkan menolak pengesahaan RUU tersebut karena cenderung lebih memihak pengusaha atau investor. Banyak poin-poin yang menjadi keresahan, terutama para buruh, antara lain penggunaan satuan waktu dan upah minimum provinsi (UMP) dalam penentuan upah, hilangnya pesangon, bahkan minimnya jaminanan keselamatan kerja bagi buruh atau pekerja.
Untuk mengupas terkait UU Cipta Kerja, Koran Jakarta mewawancarai Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana tanggapan Anda terkait masih adanya ketidakpuasan atas pengesahaan RUU Cipta Kerja?
Pemerintah menyadari bahwa dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja terdapat perbedaan pandangan pro-kontra. Perbedaan pandangan ini tentu saja merupakan hal yang wajar dalam dinamika sosial dan demokrasi. Namun demikian, pada akhirnya pemerintah harus memutuskan dan menyiapkan draf yang akan dibahas bersama DPR.
Di sisi lain, proses pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR berjalan secara transparan. Bahkan, untuk pertama kalinya pembahasan suatu RUU dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui kanal-kanal media sosial yang tersedia. Hal ini dimaksudkan agar publik dapat mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja secara saksama.
Bisa dijelaskan tuntutan buruh yang telah termuat dalam UU Cipta Kerja ini?
UU Cipta Kerja tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah yang baru. Terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota tetap dipertahankan. Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan upah minimum dimaksud, maka UU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum.
Di samping itu, dalam rangka memperkuat perlindungan upah bagi pekerja/buruh serta meningkatkan pertumbuhan sektor Usaha Mikro dan Kecil, maka UU Cipta Kerja mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor Usaha Mikro dan Kecil.
Untuk bentuk perlindungan pekerjanya sendiri seperti apa?
UU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja. Di samping itu, UU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT.
Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh dalam kegiatan alih daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan. Bahkan, UU Cipta Kerja memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.
Tapi, ada anggapan bahwa UU ini membuat pekerja rentan terkena PHK?
Sangat prematur apabila secara tergesa-gesa kita menyimpulkan bahwa UU Cipta Kerja akan rentan terhadap PHK pekerja/buruh. Padahal semangat yang dibangun dalam UU Cipta Kerja ini justru untuk memperluas penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas perlindungan bagi pekerja/buruh, utamanya perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). n muh ma'arup/P-4