Sebuah lembaga think tank berbasis di Finlandia melaporkan Rusia telah menggunakan keuntungan ekspor energi dalam jumlah yang besar untuk mendanai apa yang Presiden Rusia Vladimir Putin sebut sebagai 'operasi militer'.

Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) memprediksi Rusia telah meraup 158 miliar dolar AS atau Rp2,436 triliun dari ekspor energi dalam kurun waktu enam bulan setelah invasinya.

"Ekspor bahan bakar fosil telah menyumbang sekitar 43 miliar euro ke anggaran federal Rusia sejak awal invasi, membantu mendanai kejahatan perang di Ukraina," katanya, seperti dikutip Channel News Asiapada Jumat (9/9).

CREA melaporkan harga gas alam baru-baru ini melonjak ke level tertinggi di Eropa karena Rusia menghentikan pasokan, sebuah langkah balasan atas sanksi Barat.

Selama periode ini, CREA memperkirakan bahwa Uni Eropa (UE) menjadi importir utama bahan bakar fosil Rusia, dengan nilai 85,1 miliar euro. Disusul Tiongkok dan Turki yang masing-masing menyumbang 34,9 miliar Euro dan 10,7 miliar euro.

"Melonjaknya harga bahan bakar fosil berarti bahwa pendapatan Rusia saat ini jauh di atas tingkat tahun-tahun sebelumnya, meskipun ada pengurangan volume ekspor tahun ini," bunyi pernyataan organisasi itu.

Sementara UE telah menghentikan pembelian batu bara Rusia yang membuat nilai ekspornya turun ke level terendah, UE hanya secara progresif melarang minyak Rusia dan tidak menerapkan batasan apa pun pada impor gas alam, karena sangat bergantung padanya.

Atas dasar itu, CREA lantas menyerukan aturan dan penegakan yang lebih kuat mengenai ekspor minyak Rusia, mendesak UE dan Inggris menggunakan pengaruh mereka untuk menekan pengiriman global.

"Uni Eropa harus melarang penggunaan kapal milik Eropa dan pelabuhan Eropa untuk pengiriman minyak Rusia ke negara ketiga, sementara Inggris harus berhenti mengizinkan industri asuransinya untuk berpartisipasi dalam perdagangan ini," kata CREA.

Baca Juga: