Utang negara yang mencapai lebih dari empat ribu triliun rupiah seharusnya menjadi kekhawatiran tim ekonomi pemerintah.

JAKARTA - Pemerintah sebaiknya menyampaikan masalah fundamental ekonomi jangan dari sisi kegiatan perdagangan semata. Sebab, kian meningkatnya impor dan terbatasnya ekspor juga terkait dengan perilaku birokrat untuk mendapatkan rente.

Selain itu, kebergantungan pada utang juga ikut membuat fundamental ekonomi Indonesia menjadi rapuh. Soalnya, fungsi utang selama ini untuk menambal defisit anggaran negara, bukan digunakan untuk kegiatan yang produktif.

Ekonom UMY, Achmad Maruf, mengatakan kebergantungan yang sangat masif pada impor pangan dan energi serta utang akan selalu membuat Indonesia terjebak pada persoalan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), defisit neraca perdagangan, dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Tiga defisit ini terjadi sudah lama, tapi tidak ada keberanian untuk menjadikannya surplus. Bahkan, dengan beralasan masih di bawah rasio aman, pemerintah terus saja terbuai dengan produk impor dan utang. Kekhawatiran baru muncul ketika defisit kian terus melebar dan pasar utang menjadi ketat ketika perekonomian global mengalami kontraksi seperti sekarang ini," ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/3).

Maruf menegaskan pemerintah jangan hanya ingin menekan defisit transaksi berjalan saja, namun jumlah utang negara yang mencapai lebih dari empat ribu triliun rupiah seharusnya juga menjadi kekhawatiran tim ekonomi pemerintah. "Bagaimana cara membayar utang itu? Apakah utang itu harus terus dibebankan ke negara? Tidak, sebab ada utang yang merupakan beban masa lalu, yang sebenarnya bisa dialihkan untuk program produktif," ujarnya.

Menurut Maruf, utang masa lalu itu berasal dari kewijaban pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikonversi menjadi obligasi rekapitalisasi perbankan. "Beban pengemplang BLBI dijadikan utang negara, kemudian bunganya dibayarkan dari pajak rakyat. Kebijakan salah ini mesti dikoreksi agar anggaran negara menjadi sehat," katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut perekonomian Indonesia mengalami "tungkai lemah" sehingga tidak bisa "berlari kencang". Ini terjadi disebabkan masih adanya masalah dari sisi CAD.

Menurut Sri Mulyani, penyebab utama CAD adalah sisi produktivitas dan daya saing. Ketika perekonomian ingin berlari kencang, impor akan naik signifikan. "Namun, ekspor tidak bisa catch up (mengejar ketertinggalan). Kalau CAD makin lebar dan tidak mampu menarik capital maka nilai tukar tertekan. Ini kenapa "tungkai lemah". Sebagai negara besar dan potensinya besar, harusnya Indonesia bisa tumbuh 6 hingga 7 persen," kata Sri Mulyani, di Jakarta, pekan lalu.

Ditambahkan, dalam situasi itu, Indonesia tidak bisa berekspansi besar-besaran melalui impor barang modal karena kinerja ekspor tak mampu mengimbanginya. Jika dipaksakan, CAD akan melebar dan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. "Masalah fundamental ini yang ingin diselesaikan pemerintah," ujar Sri Mulyani.

Bank Indonesia melaporkan defisit transaksi berjalan Indonesia pada 2019 senilai 30,4 miliar dollar AS, menurun tipis dibanding 2018 sebesar 30,6 miliar dollar AS (lihat infografis).

Membahayakan Perbankan

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan sikap pemerintah yang terlalu agresif dalam menerbitkan surat utang akan sangat berbahaya bagi likuiditas perbankan nasional.

"Pertama, bunga tinggi Surat Berharga Negara (SBN) akan menjadi beban pemerintah. Kedua, terjadi perebutan dana masyarakat di pasar keuangan sehingga likuiditas perbankan nasional jadi terganggu," ujar Bhima.

Menurutnya, SBN bukan jalan satu-satunya untuk dapat menutupi defisit anggaran. Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya mencari alternatif pembiayaan dengan bunga yang lebih murah. "Pembiayaan alternatif banyak mulai dari Filantropi Fund, pinjaman Sovereign Wealth Fund, dan pinjaman bilateral yang spesifik ke program tertentu," jelasnya.

Lebih lanjut, pemerintah juga sudah seharusnya menahan belanja yang tidak produktif seperti belanja pegawai dan belanja barang. "Serapan belanja modal rendah, perencanaan yang tidak sesuai kebutuhan sehingga belanja tidak produktif, ini yang harus di-cut," jelasnya.

Selain itu, untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah seharusnya mengoptimalkan penerimaan negara, salah satunya dengan mengoptimalkan pajak orang kaya.YK/uyo/AR-2

Baca Juga: