Sebuah metode untuk menghasilkan sel hidup baru dari badak Sumatra yang telah mati, sedang dikembangkan oleh para ilmuwan satwa liar di Jerman dalam upaya untuk mencegah musnahnya spesies yang terancam punah.
Ilmuwan satwa liar di Jerman sedang mengembangkan metode untuk menghasilkan sel hidup baru dari badak Sumatra yang telah mati dalam upaya mencegah musnahnyaspesies yang terancam punah.
Mereka telah menggunakan sampel kulit badak jantan terakhir di Malaysia, yang dikenal dengan nama Kertam, yang mati pada Mei 2019 lalu, untuk menumbuhkan sel punca dan otak mini seperti yang dilaporkan dalam makalah para peneliti yang baru-baru ini dipublikasikan.
Saat ini tercatat ada kurang dari 80 badak yang tersisa di dunia, dan mereka semua saat ini hidup di alam liar di Indonesia dan beberapa diantaranya berada di tempat penangkaran.
Inisiatif penangkaran badak Sumatra dimulai pada era '80-an, tetapi selama bertahun-tahun, upaya tersebut membuahkan keberhasilan dan kegagalan. Upaya penangkaran perdana dilakukan terhadap 40 badak liar yang ditangkap dan dibawa ke kebun binatang dan fasilitas penangkaran di Indonesia, Malaysia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). Namun hampir semuanya mati tanpa keturunan dan kelahiran penangkaran pertama yang sukses hanya terjadi pada 2001 di Kebun Binatang Cincinnati di AS, sehingga inisiatif tersebut diakhiri.
Badak Sumatra biasa berkeliaran di banyak hutan di wilayah Asia tenggara, tetapi perburuan dan hilangnya habitat telah membawa spesies ini ke ambang kepunahan. Perkiraan resmi menunjukkan bahwa kurang dari 80 badak yang tersisa di dunia, dan mereka semua saat ini hidup di Indonesia di alam liar, dan beberapa di cagar alam.
Populasi mereka juga terancam terutama oleh tingkat perkembangbiakan yang rendah di alam karena buruknya kesehatan reproduksi badak betina.
Untuk mengatasi masalah itu, saat ini para peneliti di Pusat Kedokteran Molekuler Max Delbruck Jerman sedang mengembangkan metode yang berpotensi menghasilkan spermatozoa yang layak untuk tujuan pengembangbiakan badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).
"Mereka telah menggunakan sampel kulit terakhir badak jantan di Malaysia, yang dikenal dengan nama Kertam, yang mati pada Mei 2019, untuk menumbuhkan sel punca dan otak mini," demikian laporan dalam makalah yang baru-baru ini diterbitkan di jurnaliScience.
"Meskipun pekerjaan kami berusaha untuk membuat hal yang tampaknya mustahil, yaitu untuk memastikan kelangsungan hidup hewan yang mungkin akan hilang dari planet kita, namun hal itu harus tetap menjadi pengecualian dan tidak menjadi aturan," Vera Zywitza, seorang ilmuwan di Berlin yang menjadi penulis utama makalah tersebut.
"Kami berupaya untuk melestarikan informasi genetik Kertam dan menciptakan peluang untuk menghasilkan spermatozoa yang layak untuk tujuan pemuliaan di masa depan," imbuh dia.
Metode ini pernah dan berhasil dilakukan terhadap badak putih di Afrika yang saat ini juga di ambang kepunahan. Para peneliti menerapkan metode yang sama yang digunakan untuk mengubah sel kulit badak menjadi sel punca. Mereka menggunakan sampel kulit, yang dapat membelah tanpa batas dan tidak pernah mati, sehingga para ilmuwan dapat mengubahnya menjadi jenis sel apapun di dalam tubuh.
Namun, para ilmuwan mencatat bahwa sel Kertam hanya dapat dibudidayakan dengan sel pengumpan yang melepaskan faktor pertumbuhan untuk menjaga sel punca dalam keadaan yang memungkinkannya berubah menjadi salah satu dari banyak jenis sel, atau dikenal sebagai sel induk pluripotensi diinduksi(induced pluripotent stem cell/iPSC).
Sel induk pluripotensi diinduksi adalah sejenis sel punca pluripotensi yang berasal dari sel somatik dewasa yang dan di program ulang secara genetik menjadi keadaan mirip sel punca embrionik (ES).Melalui ekspresi paksa gen dan faktor-faktor penting dapat mempertahankan sifat-sifat yang menentukan dari sel ES.
Hasilkan Organ Kompleks
Teknik sel punca ini berguna dalam menghasilkan otak mini badak Sumatra jantan, dan menunjukkan potensi sel-sel ini untuk menghasilkan organ kompleks seperti organoid serebral dari badak Sumatra jantan terakhir.
Organoid adalah versi miniatur sederhana dari sebuah organ, yang diproduksi di laboratorium dan memiliki bentuk tiga dimensi dan anatomi yang mirip organ sungguhan. Kultur jaringan ini dapat berkontribusi pada pengetahuan tentang perkembangan evolusi perkembangan otak pada mamalia dan dapat membantu mengungkap sejarah kuno keluarga badak.
Badak Sumatra, yang dikenal sebagai badak berbulu atau badak bercula dua, adalah spesies badak terkecil dan paling purba dari spesies badak yang masih ada.
"Sejauh pengetahuan kami, organoid serebral hanya diperoleh dari tikus, manusia, dan sel punca pluripotensi primata non-manusia," kata Sebastian Diecke, kepala Platform Sel Punca Pluripoten di Max Delbrück Center yang merupakan seorang rekan penulis makalah ini.
"Kami sangat senang mengamati pembentukan otak mini dari iPSC badak Sumatra dengan cara yang tampaknya sebanding seperti yang dijelaskan untuk organoid manusia," imbuh dia.
IPSC ini ditemukan berhasil menghasilkan sel dari tiga lapisan benih endoderm, mesoderm dan ektoderm yang pada gilirannya dapat memunculkan semua jaringan dan organ hewan. Selanjutnya, para peneliti menggunakan sel induk untuk menumbuhkan organoid serebral yaitu otak mini dari badak di laboratorium.
Semua penanda saraf yang diuji terdeteksi, menunjukkan potensi sel-sel ini untuk menghasilkan organ kompleks. Namun tentu saja, implikasi terpenting dari pekerjaan ini adalah bahwa iPSC dapat digunakan untuk membantu meningkatkan keberhasilan pengembangbiakan badak Sumatra dan meningkatkan keragaman genetiknya sehingga warisan genetik Kertam bisa bertahan lama setelah kematiannya.
Untuk menghentikan erosi keragaman genetik, reintroduksi materi genetik sangat diperlukan, karena tingkat perbanyakan penangkaran terlalu rendah, teknologi inovatif perlu dikembangkan, dan iPSC adalah metode yang ampuh untuk melawan kepunahan. hay/I-1
Populasinya di Alam Liar Terus Menurun
Populasi badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di alam liar pada 2015 diperkirakan kurang dari 80 ekor. Namun perkiraan terbaru yang disusun oleh para ahli badak dari IUCN dan TRAFFIC, menyimpulkan jumlahnya lebih mungkin antara 34 dan 47 ekor badak yang tersisa di alam liar.
Badak Sumatra adalah spesies badak terkecil di dunia. Mereka juga dikenal dengan rambut acak-acakan. Suaranya bersiul, mencicit, dan mendengus.
Dalam beberapa tahun terakhir, para petugas penjaga taman suaka margasatwa telah menggunakan ke kamera pengintai otomatis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang populasinya.
"Hewan ini sangat sulit untuk ditemukan, dilacak, maupun dipantau," kata Nina Fascione, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation (IRF), yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. "Mereka amat tertutup. Di hutan lebat, Anda bisa melihat badak sejauh 6 meter dan tidak akan menyadari keberadaannya," imbuh dia seperti dikutip lamanMongabay.
Badak Sumatra mungkin masih berkeliaran di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, juga di Sumatra bagian selatan. Namun, tidak ada badak yang tercatat di taman ini selama bertahun-tahun, dan bahkan kamera pengintai otomatis gagal menangkap jejaknya. "Sulit dipercaya masih ada badak Sumatra yang tersisa di sana," kata Susie Ellis, mantan pemimpin IRF."Perlu ada intervensi pemerintah yang jauh lebih agresif," imbuh dia.
Badak Sumatra, seperti semua badak lainnya, telah menderita akibat perburuan manusia selama ribuan tahun. Di zaman modern, permintaan cula badak untuk berbagai manfaat kesehatan yang belum pernah dibuktikan secara medis telah mendorong setiap spesies badak menuju kepunahan.
Meskipun penjaga hutan tidak menemukan bukti perburuan badak Sumatra dalam beberapa tahun terakhir, Ellis yakin perburuan terus berlanjut. Namun saat ini, badak Sumatra mungkin lebih terancam oleh fakta sederhana bahwa hanya tersisa sedikit sehingga mereka jarang ditemui.
Badak Sumatra betina umumnya menderita masalah reproduksi, membuat reproduksi baik di alam liar maupun penangkaran menjadi lebih menantang. Seperti banyak megafauna lainnya, badak Sumatra juga berkembang biak dengan sangat lambat, dengan masa kehamilan 15 bulan dan minimal tiga hingga empat tahun antara melahirkan.
Menurut sebuah studi, populasi badak liar dibagi menjadi empat wilayah berbeda. Para peneliti percaya dua sampai tiga badak liar masih bertahan hidup di Kalimantan, 12-14 ekor badak ada di Taman Nasional Way Kambas di Sumatera bagian selatan, dan populasi terbesar badak terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera bagian utara. hay/I-1