Pendidikan vokasi diharapkan mampu melahirkan generasi yang siap terserap dunia kerja. Lulusannya tidak hanya memiliki kemampuan hard skill, tapi juga soft skill sehingga memiliki kecakapan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan dunia industri (DUDI).

Saat ini masih kerap ditemui pandangan masyarakat yang keliru terhadap lulusan vokasi Masih ada pihak yang menganggap vokasi hanya menghasilkan lulusan berprofesi sebagai tukang. Anggapan tersebut harus terjawab dengan beragam inovasi sistem pendidikan vokasi.

Untuk membahas hal itu, Koran Jakarta mewawancarai Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementeran Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Wikan Sakarinto. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa Anda jelaskan bagaimana kondisi lulusan vokasi saat ini?

Saya menyayangkan masih ada pandangan tak mengenakkan di tengah masyarakat tentang lulusan pendidikan vokasi. Kita itu jangan terkotakkan di masa lalu, vokasi bikin tukang, salah, vokasi itu bikin pemimpin dan kreator. Vokasi juga menghasilkan tukang, tapi high level yang punya soft skill. Hard skill jelas, tapi bisa nyusul.

Apa saja yang harus ditingkatkan terkait proses pembelajaran di pendidikan vokasi?

Kurikulum semester 1 D4 itu harus penguatan soft skill, jangan taruh di belakang. Saya ingin 50 persen mahasiswa diploma 4 (D4) itu mahasiswa berprestasi untuk bidang iptek, olahraga, dan seni.

Selain itu, harus ada program upgrading yang akan menghadirkan proses edukasi yang luar biasa di politeknik dan kampus vokasi Indonesia. Pasti industri aware, mereka nanti interest dan mau buat lebih baik lagi, jangan cuma asal bikin ijazah S1 terapan.

Bagaimana pemerintah meningkatkan institusi pendidikan vokasi agar bisa melahirkan lulusan yang cepat terserap lapangan pekerjaan?

Kami mendorong dilakukannya pengembangan atau upgrading diploma 3 (D3) untuk menjadi sarjana terapan (D4). Namun, ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi untuk upgrading itu.

Jadi, bikin D4 itu nanti bersama dengan industri. Mengembangkan D4 tidak dari nol, yaitu dengan cara mengevaluasi dan meng-upgrade D3 menjadi D4. Jadi, effort tidak seberat membuat prodi baru, tetapi lakukan bersama dengan industri.

Upgrading ini juga perlu adanya penguatan kompetensi soft skill pada upgrading ini. Apabila tidak, maka program studi yang akan di upgrade tidak akan disetujui. Industri itu komplain soft skills lulusan kita. Nanti kalau bikin D4, tapi hard skills lagi yang jadi panglimanya, kita enggak akan setujui, kita akan asesmen. Jadi sarjana terapan itu hard skills dan soft skills harus sama-sama kuat.

Kalau sudah jadi D4 dan melakukan link and match, itu harus menghasilkan produk, bukan hanya paper doang, teaching factory diperkuat, teaching industry dan inputnya juga penting, jadi nanti D4 harus kuat dipromosikan. Kalau enggak kita tidak setujui.

Bagaimana cara pemerintah untuk mengajak industri bisa terlibat dalam program D4 ini?

Saya ingin kirimkan 1.000 surat mengenai D4 itu apa, konsepnya apa, sehingga mereka segera paham D4 itu apa. Kita undang terus untuk seminar-seminar kita.

Surat-surat tersebut bakal mulai dikirimkan pada Jumat, 19 Februari 2021. Surat itu akan sampai pada seluruh instansi baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta.

Kita perlu turun tangan betul untuk mendobrak industri. Jadi, nanti ketika industri itu meng-endorse D4, D4 kita laris. Kita harus bantu peneterasi. n m ma'aruf/P-4

Baca Juga: