Miskonsepsi masyarakat terkait sekolah favorit dinilai menjadi salah satu masalah utama dalam penerimaan peserta didik baru sehingga mendorong untuk ­mendaftar di sekolah tertentu dengan ­beragam cara.

Miskonsepsi masyarakat terkait sekolah favorit dinilai menjadi salah satu masalah utama dalam penerimaan peserta didik baru sehingga mendorong untuk mendaftar di sekolah tertentu dengan beragam cara.

JAKARTA - Direktur Sekolah Dasar (SD), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Muhammad Hasbi, mengatakan, miskonsepsi masyarakat terkait sekolah favorit menjadi salah satu masalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hal tersebut mendorong masyarakat untuk mendaftar pada sekolah tertentu dengan berbagai macam cara.

"Pertama adanya miskonsepsi di masyarakat terkait favoritisme sekolah. Jadi masih ada sekolah favorit," ujar Hasbi, dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 secara daring, Senin (1/7).

Dia menegaskan, bagi Kemendikbudristek tidak ada sekolah favorit. Pihaknya memiliki kepentingan untuk memastikan semua sekolah memiliki kualitas yang sama.

"Tidak ada lagi sekolah favorit karena pada dasarnya sekolah itu memiliki kualitas yang sama-sama unggul," jelasnya.

Hasbi menambahkan, masalah kedua yaitu daya tampung yang belum ideal. Ke depan, pihaknya mendorong lebih banyak daya tampung sekolah salah satunya melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. "Kemudian bekerja sama dengan pemda untuk menyediakan sekolah-sekolah baru," katanya.

Penyempurnaan Kebijakan

Hasbi mengungkapkan, adanya kebijakan PPDB tahun ini merupakan penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya. Sebelum adanya sistem PPDB saat ini, PPDB menggunakan sistem ranking yang berpotensi membuat diskriminasi bagi peserta didik yang tinggal dekat dengan sekolah-sekolah mereka.

Dia menilai, diskriminasi akan semakin terasa bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi kurang mampu yang tidak masuk ranking karena harus mencari sekolah lebih jauh. Selain itu, bagi peserta didik disabilitas juga tidak menerima cukup afirmasi.

"PPDB telah terbukti mampu memperkecil jarak kualitas antarsekolah atau disparitas kualitas antarsekolah. membuat sekolah lebih heterogen dan memberi akses lebih baik kepada masyarakat kurang mampu dan disabilitas," ucapnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menduga, di tahap akhir PPDB masih ada bangku sisa yang belum terisi. Menurutnya, hal tersebut jadi modus kecurangan dan sengaja disembunyikan agar bisa diperjualbelikan.

"Tahun ini janganlah dilakukan. Itu tindakan biadab, culas, dan bertentangan dengan ruh pendidikan. Pemerintah daerah wajib mendaftar dan memberikan sisa kuota kepada yang lebih membutuhkan, yaitu para penerima KIP/KJP," terangnya.

Dia meminta Kemendikbudristek harus menghentikan sistem seleksi serta menyesuaikan daya tampung sekolah dengan jumlah calon pendaftar. Di sisi lain, pemerintah daerah wajib melibatkan sekolah swasta untuk menyediakan daya tampung yang sesuai dengan calon peserta didik.

"Kekurangan bangku itu terjadi karena pemerintah daerah hanya mengurusi sekolah negeri saja. Padahal, tugas pemerintah adalah membiayai, memfasilitasi, dan memastikan semua anak mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di semua jenis sekolah, mau sekolah negeri maupun sekolah swasta," tuturnya. ruf/S-2

Baca Juga: