JOHANNESBURG - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pada Senin (21/10), menyatakan perubahan iklim, konflik, dan kemiskinan yang terus berlanjut di Afrika membutuhkan tindakan dan aksi tegas.

"Afrika adalah benua penuh harapan. Namun, benua ini menghadapi tantangan yang berakar dalam pada sejarah dan diperparah oleh perubahan iklim, konflik, serta kemiskinan yang terus berlanjut," ujar Guterres dalam peresmian Africa Hall yang telah direnovasi di Ibu Kota Ethiopia, Addis Ababa.

Seperti dikutip dari Antara, Guterres menekankan perempuan Afrika sering kali "menanggung beban terberat dari kesulitan ini" dan menegaskan bahwa masalah-masalah ini memerlukan tindakan tegas dan solidaritas yang diperbarui.

Sekjen PBB itu juga menyatakan lembaga-lembaga global didirikan pada masa ketika sebagian besar wilayah Afrika masih di bawah penjajahan, dan banyak dari lembaga-lembaga ini masih terjebak dalam masa itu, tidak mampu merespons aspirasi dan hak-hak rakyat Afrika.

"Afrika masih belum memiliki kursi permanen di Dewan Keamanan. Semoga ini segera diperbaiki," ujarnya, mengkritik bahwa lembaga keuangan internasional sering kali tidak dapat memberikan tanggapan yang dibutuhkan negara-negara Afrika, baik itu perlindungan dari lilitan utang atau dari bencana iklim yang bukan mereka sebabkan.

"Kita hanya bisa maju jika kita juga memperbarui dan memodernisasi lembaga global, dengan menjadikannya lebih efektif, adil, dan inklusif," tambahnya.

Perlu Reformasi

Guterres juga menekankan pentingnya Pakta untuk Masa Depan yang baru saja diadopsi, Kompak Digital Global, dan Deklarasi untuk Generasi Masa Depan, yang mengakui perlunya reformasi Dewan Keamanan agar menjadi lebih representatif, transparan, efisien, demokratis, dan bertanggung jawab.

Pakta tersebut, tambah Guterres, menyerukan reformasi besar-besaran pada arsitektur keuangan internasional, termasuk peningkatan besar dalam pembiayaan pembangunan dan iklim yang terjangkau.

"Kita harus bergerak maju bersama dalam melaksanakan kesepakatan bersejarah ini tanpa penundaan," tegas Guterres, sambil menekankan bahwa kaum muda harus dilibatkan di setiap langkah tanpa penundaan.

Sementara itu, sebuah tim ilmuwan internasional yang mempelajari hubungan antara perubahan iklim dan cuaca ekstrem,pada hari Rabu (23/10), mengatakan hujan deras yang memicu banjir parah di Kamerun, Chad, Niger, Nigeria, dan Sudan dalam beberapa bulan terakhir, akan diperburuk oleh perubahan iklim yang disebabkan manusia.

Dikutip dari The Straits Times, menurut World Weather Attribution (WWA), pemanasan global membuat hujan musiman tahun ini sekitar 5-20 persen lebih deras di cekungan Niger dan Danau Chad.Curah hujan lebat seperti itu dapat terjadi setiap tahun jika pemanasan terus berlanjut.

"Curah hujan musim panas yang lebat telah menjadi hal biasa di Sudan, Nigeria, Niger, Kamerun, dan Chad," kata Izidine Pinto, Peneliti di Institut Meteorologi Kerajaan Belanda, dalam pernyataan WWA.

Banjir tahun ini menewaskan sekitar 1.500 orang dan menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi di Afrika Barat dan Tengah, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB atau Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), curah hujan juga membanjiri bendungan di Nigeria dan Sudan.

Jika pemanasan global mencapai 2 derajat Celsius (3,6 derajat Fahrenheit), yang dapat terjadi paling cepat pada tahun 2050-an, hujan lebat seperti itu diperkirakan akan terjadi hampir setiap tahun di wilayah yang terkena dampak, yang menyerukan lebih banyak investasi dalam sistem peringatan dini dan peningkatan bendungan.

"Afrika telah menyumbang sedikit emisi karbon secara global, tetapi paling terdampak oleh cuaca ekstrem," kata Joyce Kimutai, peneliti di Pusat Kebijakan Lingkungan di Imperial College di London.

Ia mengatakan tanggung jawab berada pada perundingan iklim COP29 tahun ini pada bulan November untuk memastikan negara-negara kaya memberikan "dana yang berarti" untuk membantu.

Baca Juga: