WASHINGTON - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pada hari Senin (5/8), memperingatkan adanya ancaman serius dan bahaya yang nyata dari senjata nuklir. Senjata nuklir dan ancaman penggunaannya tidak hanya ada dalam buku-buku sejarah. Senjata nuklir muncul dalam retorika harian hubungan internasional.
"Senjata nuklir merupakan bahaya nyata yang masih ada bersama kita hingga saat ini," kata Guterres ketika menyampaikan pesan dalam peringatan 79 tahun Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang.
Seperti dikutip dari Antara, pengeboman Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dalam Perang Dunia II menewaskan sekitar 140.000 orang, sementara bom atom yang dijatuhkan di Kota Nagasaki tiga hari kemudian menewaskan sekitar 74.000 orang.
"Pelajaran dari Hiroshima, yang pernah memandu upaya kolektif kita menuju perlucutan senjata dan perdamaian, telah disingkirkan," kata Guterres.
Sementara beberapa pihak sekali lagi, secara gegabah mengancam dengan senjata nuklir, Guterres menekankan bahwa PBB terus berusaha menghidupkan pelajaran pahit peristiwa pengeboman nuklir pada 1945.
Perlucutan Senjata
Guterres menyerukan kepada dunia untuk bersatu mengutuk perilaku yang tidak dapat diterima ini dan menemukan solusi baru untuk menghidupkan perlucutan senjata.
"Kita tidak akan pernah melupakan pelajaran dari 6 Agustus 1945. Tidak (boleh) ada lagi (kota dibom seperti) Hiroshima dan Nagasaki," kata dia.
Sebelumnya, Gubernur Prefektur Hiroshima Jepang, Hidehiko Yuzaki, memperingatkan komitmen Washington dan Tokyo terhadap pencegahan yang diperluas berpotensi meningkatkan ketergantungan pada senjata nuklir dan memperburuk risiko perang nuklir.
"Saya sangat khawatir dengan ketergantungan yang semakin besar pada senjata nuklir. Ini dapat meningkatkan risiko perang nuklir," kata Yuzaki seperti dikutip kantor berita Kyodo dalam sebuah konferensi pers.
Yuzaki menekankan pentingnya mempromosikan perlucutan senjata nuklir secara bertahap tidak hanya oleh AS, tetapi juga oleh negara-negara lain yang menimbulkan risiko bagi Jepang, seperti Tiongkok dan Korea Utara.
Konferensi menteri pertama tentang pencegahan yang diperluas berlangsung di Tokyo pada akhir Juli 2024. Konsep ini mengimplikasikan perluasan "payung nuklir" AS dari Jepang ke Korea Selatan, Filipina, dan Australia.
Dalam konferensi tersebut, menteri luar negeri dan pertahanan Jepang dan AS sepakat untuk terus mendiskusikan masalah ini terutama di tingkat menteri, namun tidak terbatas pada tingkat tersebut.
Pemerintah Tiongkok menyampaikan pandangan soal kekhawatiran terkait kepemilikan senjata nuklir dalam Sesi Kedua Komite Persiapan Konferensi Tinjauan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Non-Profliferation Treaty atau NPT) yang berlangsung di Jenewa, Swiss.
"Negara-negara yang memiliki senjata nuklir perlu dengan sungguh-sungguh menanggapi kekhawatiran dan permintaan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir dan membuat perjanjian atau mengeluarkan pernyataan politik yang melarang penggunaan senjata nuklir lebih dahulu," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning.