BANGKOK - Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan "khawatir" dengan laporan serangan udara militer Myanmar yang sedang berlangsung di desa-desa di negara bagian Rakhine. Penduduk setempat mengatakan kepada AFP bahwa lebih dari 20 orang tewas pada hari Senin (18/3).

Bentrokan telah mengguncang negara bagian Rakhine barat Myanmar sejak Tentara Arakan (AA) menyerang pasukan keamanan pada bulan November, mengakhiri gencatan senjata yang sebagian besar telah dilaksanakan sejak kudeta militer pada 2021.

Guterres "khawatir dengan laporan serangan udara yang sedang berlangsung oleh militer, termasuk hari ini di kotapraja Minbya yang dilaporkan menewaskan dan melukai banyak warga sipil," kata juru bicara Sekjen PBB pada Senin (18/3).

Kota Minbya terletak di sebelah timur ibu kota negara bagian Sittwe, yang telah diputus oleh pejuang AA dalam beberapa pekan terakhir.

Serangan udara menghantam desa Thar Dar sekitar pukul 01.45 pada Senin, menewaskan 10 pria, empat wanita dan 10 anak-anak, kata seorang warga kepada AFP.

"Tidak ada pertempuran di desa kami dan mereka mengebom kami," katanya, meminta tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Warga lain, yang juga meminta namanya dirahasiakan, mengatakan 23 orang tewas dalam ledakan itu dan 18 luka-luka.

Konflik baru-baru ini telah menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi di Rakhine, tempat tindakan keras militer pada tahun 2017 menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.

Dengan sebagian besar jaringan seluler tidak berfungsi, komunikasi dengan wilayah sungai menjadi sangat sulit.

Pasukan Junta menguasai Sittwe namun dalam beberapa pekan terakhir pejuang AA telah menguasai distrik-distrik sekitarnya.

Pertempuran juga meluas ke negara tetangga India dan Bangladesh.

Bulan lalu, setidaknya dua orang tewas di Bangladesh setelah mortir yang ditembakkan dari Myanmar selama bentrokan di sana mendarat di seberang perbatasan.

AA adalah salah satu dari beberapa kelompok etnis minoritas bersenjata di wilayah perbatasan Myanmar, banyak di antaranya telah berperang melawan militer sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948 demi otonomi dan kendali atas sumber daya yang menguntungkan.

Baca Juga: