Impor pangan hanya menguntungkan segelintir orang, Indonesia harus berutang hanya untuk impor makanan.
JAKARTA - Masuknya Indonesia ke dalam daftar Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) sebagai negara sasaran tujuan ekspor pangan dunia seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera membenahi kebijakan pangan. Kebergantungan pada pangan impor akan menjadi ancaman stabilitas nasional.
Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan kalau setiap tahun Indonesia menghabiskan devisa sekitar 28 miliar dollar AS atau setara dengan 425 triliun rupiah hanya untuk impor makanan maka kondisinya sudah gawat. "Ini menjadi masalah struktural, di mana produksi domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional, memaksa kita berutang untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti gandum, kedelai, dan daging," papar Maruf.
Kebergantungan pada impor pangan bukan hanya masalah ketahanan pangan, tetapi juga berdampak pada ketahanan ekonomi secara keseluruhan. Ketidakstabilan harga pangan di pasar internasional dan ketidakpastian geopolitik global, seperti yang terlihat dalam krisis Ukraina dan Timur Tengah, turut memperburuk situasi. "Kebergantungan pada impor pangan membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan risiko kebijakan proteksionis dari negara eksportir," jelas Maruf.
Dia pun mengimbau pemerintah tidak hanya berupaya meningkatkan produksi pangan dalam negeri, tetapi juga mengubah paradigma pembangunan pertanian. "Investasi dalam teknologi pertanian, reformasi agraria, dan pemberdayaan petani lokal harus menjadi prioritas utama. Kita harus mengurangi kebergantungan pada impor dan membangun sektor pertanian yang mandiri dan berkelanjutan," tegas Maruf. Kalau kebijakan pembangunan pertanian mandiri dan berkelanjutan tidak diterapkan, maka Indonesia akan terus berutang hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan memperlemah posisi ekonomi negara dan membuat Indonesia semakin bergantung pada negara lain.
Menguras Devisa
Diminta terpisah, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan pengelolaan pangan harus berbasis pada keadilan. Impor selain menguras devisa juga membuat pengelolaan pangan tidak merata karena merugikan petani dalam negeri. "Impor pangan hanya menguntungkan segelintir orang, RI berutang hanya untuk impor makanan," tegas Badiul. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengakhiri kebergantungan impor pangan agar kerugian negara tidak bertambah besar.
Untuk mengatasi hilangnya devisa 28 miliar dollar AS tiap tahun, pemerintah perlu memperkuat kedaulatan pangan, melalui revitalisasi sektor pertanian, peningkatan produktivitas dan kualitas sektor pertanian melalui intensifikasi diversifikasi tanaman. Selain itu juga harus menerapkan teknologi pertanian modern, irigasi pintar, bibit unggul dan akses petani pada pupuk. Kemudian, pengembangan kawasan sentra pertanian, di wilayah-wilayah strategis dan pengelolaan terpadu untuk komoditas utama (beras, jagung) dan hortikultura.
Selanjutnya, melakukan penguatan rantai pasok, membangun sistem distribusi yang efisien sehingga dapat bersaing dengan produk impor. Langkah berikutnya adalah melakukan subtitusi impor. Pemerintah perlu mendorong pengembangan industri subtitusi impor dengan memberikan insentif pada industri yang berorientasi pada subtitusi impor. Terakhir, melindungi industri lokal, menetapkan tarif kuota impor untuk melindungi produk lokal yang rentan bersaing dengan produk impor.
Sementara itu, pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan fakta yang diungkap Departemen Perdagangan AS soal nilai impor pangan Indonesia tersebut mengkhawatirkan karena akan membebani perekonomian.
"Dilihat dari jumlahnya itu sangat luar biasa, seperlima APBN kita. Jelas ini akan membayakan karena berpengaruh terhadap pengembalian utang dan ketahanan devisa kita," kata Ramdan. Sementara itu, sektor pertanian dalam negeri terancam dampak climate change, sehingga jangankan soal kuantitas, soal mutu yang menjadi syarat makan gratis akan terkendala, sehingga pemerintah memenuhinya dengan impor. "Ini memprihatinkan karena upaya membangun ketahanan pangan, tapi semakin jauh dari kedaulatan pangan," katanya.