Sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, seorang presiden memiliki sejumlah kewenangan istimewa yang disebut hak prerogatif. Sejumlah hak prerogatif presiden seperti menyatakan perang, menjalin perjanjian perdamaian, mengangkat duta besar, dan mengangkat menteri kabinet untuk membantu pemerintahan.

Dalam konteks hak prerogatif presiden ini, dalam beberapa waktu belakangan mncul berbagai analisis, pandangan, dan keinginan sebagian elite, khususnya dalam menentukan menteri kabinet. Maklum dalam pemilihan presiden Juni lalu, pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin yang memenangkan kontestasi dituntut partai koalisi pendukungnya untuk mengangkat sebagian menteri dari partai bersangkutan.

Pernah terlontar beberapa kali, Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar, menuntut sebanyak 10 menteri dengan alasan PKB telah berjasa besar dalam memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Yang paling akhir tentu pernyataan Ketua umum PDI Perjuangan Megawati yang dengan terus terang meminta agar Jokowi mengangkat menteri dari PDIP lebih banyak dari jumlah menteri asal partai lain.

Megawati mengeklain, sebagai partai pengusung utama, sangat wajar PDIP mendadapat lebih banyak jatah kursi menteri. Mestinya sebagai mantan presiden, Megawati, kurang elok menyatakan tuntutan itu secara terbuka dalam forum kongres partai.

Sebagai figur yang didukung banyak partai koalisi, Jokowi pasti ingat dan akan 'membalas budi.' Hanya, tuntutan yang terlalu besar dari partai koalisi pendukungnya, pasti akan mengurangi hak istimewanya dalam mengangkat menteri. Karena itu dalam forum kongres PDI Perjuangan itu, dengan gaya kelakarnya, Jokowi menjawab langsung permintaan Megawati. Katanya, pasti PDIP akan lebih banyak dari partai lain, beda satu pun artinya lebih banyak.

Tapi, dalam pidato saat meresmikan pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9), Presiden Jokowi menegaskan penunjukan menteri di dalam jajaran kabinet merupakan hak prerogatifnya.

Jokowi juga mengingatkan bahwa hak prerogatif tersebut berdasarkan konstitusi UUD 1945. Jika merujuk konstitusi, ada beberapa pasal terkait hak prerogatif presiden. Khusus untuk pengangkatan menteri, bisa dilihat di Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan, Presiden dibantu menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Karena kewenangan atau hak penuh tersebut, alangkah baiknya memang Presiden Jokowi tidak boleh bergantung pada partai koalisi. Suara para pemimpin partai perlu didengar karena bagaimanapun kendali politik di parlemen tetap berada di tangan ketua umum partai. Jadi, hak prerogatif juga tidak boleh secara kaku diterapkan, tanpa meminta atau berdialog dengan elite partai. Hanya, untuk menentukan yang akan menduduki pos menteri, memang harus diputuskan presiden sendiri.

Di masa pemerintahan kedua ini, Jokowi harus benar-benar jeli memilih dan mengangkat para pembantunya. Dengan begitu, menteri kabinet mampu menerjemahkan semua program, visi, dan visi sebagaimana dikampanyekan dalam pilpres lalu. Apalagi, Presiden Jokowi punya ide besar dan sudah diputuskan, pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur. Dalam proses pemindahan, khususnya saat mulai pembangunan infrastruktur dan sarana ibu kota, setiap menteri terkait harus bersinergi.

Pengalaman menteri kabinet pertama yang oleh sebagai masyarakat dinilai tidak sesuai dengan harapan dan di tengah jalan ada beberapa menteri yang tak sejalan bahkan saling serang, harus menjadi pelajaran penting. Menteri harus kompak dan tunduk perintah Presiden, bukan pada kepentingan pihak lain.

Baca Juga: