Dua tahun sejak merdeka, Pemerintah Indonesia masih harus berjuang mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara berdaulat. Namun, upaya pemerintah rupanya gagal memuaskan semua pihak di dalam negeri dan memicu pemberontakan. Salah satunya peristiwa 3 Maret 1947.

Meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, keengganan Belanda untuk mengakui hal itu membuat kedaulatan Indonesia dipandang sebelah mata oleh kancah internasional. Di dalam negeri, upaya diplomasi Pemerintah Indonesia menimbulkan kekecewaan bagi sejumlah pihak tak sedikit yang menuding pemerintah bergerak lambat untuk mengatasi upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.

Di Sumatera Barat misalnya, sebuah persekutuan rahasia bernama Pemberantas Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI). Kelompok yang memiliki relasi dengan laskar Hizbullah itu tak puas dengan kinerja pemerintah Sumatera Barat.

Dalam penelitian bertajuk "Peristiwa 3 Maret 1947 Di Padang Sumatera Barat" yang dimuat dalam Jurnal Online Mahasiswa FKIP, Universitas Riau, ketidakpuasan atas kinerja pemerintah berawal dari di kalangan partai islam yang mereka merasa bahwa pemerintah sangat dipengaruhi oleh golongan sosialis dan komunis.

Ditambah, sebagian pemimpin partai politik islam tidak puas terhadap sikap pemerintah menghadapi Sekutu atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang pemberontakan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 3 Maret 1947.

Sehari sebelum pemberontakan, tepatnya pada 2 Maret 1947, para tokoh dan ulama di Sumatera Barat mengadakan rapat di Padangpanjang. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Tentara Rakyat Indonesia itu, Jenderal Mayor Hizbullah Bachtiar Junus yang menyebut seluruh jajaran pemerintah Sumatera Barat dan pihak militer tidak kompeten dalam menangani masalah.

Menanggapi hal itu, Kolonel Ismail Lengah selaku Komandan Divisi Tentara Rakyat Indonesia Sumatera Tengah, lantas menjelaskan bahwa serangan yang dilakukan militer tidak hanya lewat kata-kata seperti yang disampaikan Bachtiar Junus.

Esok harinya atau tepatnya pada 3 Maret 1974, kelompok anti pemerintah yang dilengkapi senjata lantas menuju kediaman Residen Sutan Mohammad Rasjid dan Ismail Lengah di Bukittinggi untuk menculik keduanya.

Namun, upaya penculikan yang dipimpin oleh Hizbullah Syamsudin Ahmad itu gagal karena kediaman Residen Rasjid dijaga oleh Mobile Brigade dari kepolisian. Alhasil, mereka justru menculik Kepala Bagian Politik Residen Sumatera Barat Thaher Samad, juga Kepala Polisi Tentara Karnalis.

Kendati rencana penculikan tak berjalan lancar, sempat terjadi kontak tembak di Bukittinggi selama beberapa jam. Namun, kelompok penyerang sudah menyerah sebelum berhasil memasuki kota.

Tanggal 5 Maret 1947 para pemimpin peristiwa pemberontakan seperti Nazaruddin Datuk Rajo Mangkuto, Zubir Adam, Syamsuddin Ahmad ditangkap Pemerintah Sumatera Barat. Sedangkan Bachtiar Jusuf melarikan diri sewaktu surat penangkapannya dikeluarkan.

Ismail Lengah lalu meminta kepada Mayor Harun Al Rasjid untuk mempersiapkan suatu pengadilan lapangan terhadap para pemimpin peristiwa ini. Setelah mengalami masa penahanan, sebanyak 172 orang yang terkait gerakan tersebut segera dibebaskan kembali.

Pembebasan ini merupakan hasil pendekatan yang dilakukan oleh Maksur dan Kahar Mauncu seorang ulama panutan yang juga perwira Tentara Rakyat Indonesia. Keduanya berhasil membujuk Ismail Lengah dengan mengucapkan janji bahwa pasukan Hizbullah dapat diatasi.

Pada tanggal 6 Maret hampir semua orang Hizbullah dan Sabilillah dibebaskan kembali.

Baca Juga: