Tepat delapan tahun yang lalu, miskomunikasi antara pilot dan co-pilot dalam menanggapi masalah teknis ketika mengudara menyebabkan penerbangan AirAsia QZ8501 jatuh ke Laut Jawa pada 28 desember 2014.

Pesawat yang membawa 155 penumpang dan tujuh orang kru dari Surabaya ke Singapura itu dilaporkan hilang kontak dengan kontrol lalu lintas udara pada pukul 06.17 WIB atau sekitar 40 menit usai lepas landas pada 05.36 WIB.

Puing-puing bangkai pesawat dan jenazah penumpang kemudian ditemukan mengambang di Laut Jawa di perairan Kalimantan, sekitar 16 kilometer dari koordinat terakhir pesawat yang diketahui.

Nahas, tak ada jiwa yang berhasil selamat dari insiden tersebut dan hanya 106 mayat yang berhasil ditemukan.

Penyelidik yang awalnya mengindikasikan cuaca buruk sebagai kemungkinan penyebab kecelakaan itu, akhirnya menemukan bahwa kecelakaan fatal itu disebabkan oleh kesalahan pada komponen dan tindakan awak pesawat.

Dalam konferensi pers yang digelar setahun setelahnya, para penyidik dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan pilot menghadapi masalah teknis berulang dengan Rudder Travel Limiter (RTL), dan meninggalkan co-pilot untuk mengambil kendali pesawat.

Ketua Tim Investigasi AirAsia QZ8501, Marjono Siswosuwarno menjelaskan, sejak pukul 06.01 WIB, perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR) mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan yang disebabkan karena gangguan pada sistem rudder travel limiter (RTL). Gangguan ini mengaktifkan electronic centralized aircraft monitoring (ECAM).

"Tiga gangguan awal yang muncul pada sistem RTL telah ditangani oleh awak pesawat sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM dan gangguan tersebut bukanlah suatu yang membahayakan penerbangan" tuturnya seperti dirangkum Koran Jakarta dari laman resmi KNKT.

Tak berselang lama, pesawat kembali mengalami gangguan lagi yang keempat kalinya. FDR, katanya, mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya.

Menurutnya, gangguan tersebut memiliki kesamaan dengan kejadian gangguan pada 25 Desember 2014, saat pesawat masih di darat ketika sakelar pemutus tenaga atau circuit breaker (CB) dari flight augmentation computer (FAC) direset.

"Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini yaitu mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa Auto FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan auto FLT FAC 1+2 FAULT.

Setelah tanda auto FLT FAC 1+2 FAULT muncul, lanjutnya, autopilot dan auto-thrust tidak aktif.

Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi upset dan stall secara berkepanjangan, sehingga berada di luar batas-batas penerbangang yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat.

"Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi yang disebut sebagai upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR," sambung dia.

Semenata Pelaksana Tugas (Plt) Kasubkom Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo menerangkan dengan hilangnya fungsi autopilot, co-pilot dibiarkan menerbangkan pesawat secara manual, dan pada saat itulah terjadi miskomunikasi antara kapten dan co-pilot.

Menurut informasi yang diperoleh dari dua kotak hitam dan rekaman kokpit, seperti dilansir dari The Guardian, pilot menginstruksikan co-pilot untuk "menarik ke bawah", perintah itu kemudian diambil secara harfiah dan menyebabkan pesawat melonjak hingga 38.000 kaki.

"[Pilot] berkata, 'Tarik ke bawah, tarik ke bawah.' Tapi saat Anda menurunkan [roda gigi] pesawat akan naik. Untuk membuat pesawat jatuh harus didorong, jadi perintah ini membingungkan," ujarnya.

Baca Juga: