Masa pandemi Covid-19 menjadi momentum baik untuk menggenjot pemanfaatan energi baru dan terbarukan di Tanah Air.

JAKARTA - DPR RI diminta segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Hal itu dimaksudkan untuk mempercepat pengembangan energi masa depan tersebut di Tanah Air.
"Legislatif harus segera mengesahkan RUU EBT, sementara eksekutif juga mengeluarkan Perpres EBT, sehingga dapat mempercepat perkembangan EBT dan memastikan hukum investasinya di Indonesia," kata Pengamat Energi, Satya Hangga Yudha Widya Putra, dalam pertanyaannya di Jakarta, Senin (20/7).
Menurutnya, EBT adalah sumber energi masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sekaligus dapat menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Dia menambahkan sumber EBT di Indonesia berlimpah tetapi pemanfaatan masih sangat kecil.
"Saya optimistis permintaan energi di Indonesia pada masa depan bisa dipenuhi dengan EBT," ungkapnya.
Sementara itu, Puteri Indonesia Lingkungan 2018, Vania Fitryanti Herlambang, dalam diskusi menyoal EBT, mengatakan Indonesia harus segera beralih ke energi bersih berkelanjutan. Dia manambahkan, harga EBT lebih murah sekarang dibandingkan sebelumnya. Menurutnya, ada banyak yang bisa dilakukan untuk berkontribusi terhadap perkembangan EBT.
Diakuinya, pandemi Covid-19 telah berdampak positif ke lingkungan, khususnya terhadap pengurangan polusi dan emisi karbon. Namun, dampak Covid-19 tersebut tidak permanen.

Tren Meningkat


Tren penggunaan EBT di dunia ke depan diperkirakan terus meningkat. Hangga yang juga Co-founder IE2I memperkirakan pada abad ke-21 secara global penggunaan EBT meningkat menjadi 650 juta terajoules pada 2050 atau naik 14 persen dari 2016 sebesar 571 juta terajoules.
"Setelah 2035, lebih dari 50 persen pembangkit listrik global berasal dari EBT," ujarnya.

Menurut Hangga, dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia ingin memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru, menggunakan batu bara sebagai andalan pasokan energi nasional, dan menggunakan nuklir sebagai pilihan terakhir.

Target KEN itu penting mengingat ada banyak sekali dampak lingkungan dan risiko perubahan iklim dari energi fosil yang dihasilkan. "Sektor energi merupakan sektor terbesar kedua yang berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca," kata Presiden Asosiasi Alumni Michigan State University (MSU) di Indonesia.

Hangga melanjutkan, untuk mencapai Kesepakatan Paris dengan target emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional, harus ada penurunan sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030. "Tindakan mitigasi yang perlu dilakukan adalah pengalihan anggaran subsidi bahan bakar ke kegiatan produktif seperti infrastruktur," katanya.

Sesuai target bauran energi nasional, porsi EBT diharapkan mencapai 23 persen pada 2025 dari saat ini yang sekitar 9 persen.

mad/Ant/E-10

Baca Juga: