» Pemerintah harus mencari bujet tambahan untuk membantu sektor UMKM.

» Pelaku usaha semakin tertekan karena sudah tidak menerima insentif fiskal.

JAKARTA - Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) 50 basis poin (bps) atau 0,50 persen dari 3,75 menjadi 4,25 persen dinilai sudah sesuai dengan harapan, namun tetap menyisakan dampak pada sektor riil dengan kebijakan tersebut.

Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), Eugenia Mardanugraha, menegaskan pemerintah harus segera melakukan langkah mitigasi di sektor riil atau dunia usaha agar tetap berniat meminjam uang di bank sehingga fungsi intermediasi berjalan.

Sekalipun kenaikan suku bunga itu tidak langsung diikuti oleh bank-bank dengan menaikkan suku bunga dana dan kredit, tetapi langkah antisipatif harus segera diambil. "Meskipun tidak akan terjadi dalam jangka pendek, namun ke depan, bank akan menaikkan suku bunga sehingga bisa berdampak sektor riil," kata Eugenia.

Persiapan itu, jelasnya, dengan menyiapkan uang berlebih. Pemerintah harus mencari cara menambah penerimaan agar bisa membantu sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang akan meminjam uang di bank.

"UMKM ini harus diberi bunga khusus, pemerintah mestinya siapkan subsidi bunga bagi UMKM," kata Eugenia.

Meskipun sudah ada kredit usaha rakyat (KUR), tetapi skemanya harus diperluas dan diperbanyak serta tidak putus-putus. "Jangan ganti rezim, ganti lagi skemanya," katanya.

Selain UMKM, sektor-sektor yang dianggap berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi juga harus dibantu, seperti di sektor pangan yakni petani selaku produsen pangan.

"Petani ini kan mau pinjam uang di bank untuk menjalankan kegiatan produksi atau usahanya, mereka harus dibantu supaya tidak lari ke rentenir," katanya.

Relaksasi Kredit

Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menyebut pemerintah perlu mewaspadai pelemahan pertumbuhan ekonomi selepas BI menaikkan BI7DRRR. "Ada dua hal yang perlu dimitigasi dengan baik, yaitu potensi pertumbuhan ekonomi yang akan jadi terkoreksi dan inflasi yang tetap merangkak naik," kata Ajib dalam keterangan resminya.

Kenaikan suku bunga acuan BI, jelasnya, akan semakin menekan pelaku usaha yang sudah tidak lagi menerima insentif fiskal dari pemerintah, sehingga biaya produksi juga berpotensi meningkat.

Inflasi di Indonesia, jelasnya, disebabkan oleh kenaikan harga dari sisi penawaran karena tarif PPN yang naik menjadi 11 persen pada 1 April 2022, kenaikan harga BBM pada 3 September 2022, dan kondisi geopolitik yang mengganggu rantai pasok global.

"Pemerintah perlu lebih fokus dengan pemberian insentif agar terjadi pengurangan biaya-biaya dan kemudahan produksi sehingga efek inflasinya tetap bisa terjaga, misalnya kebijakan relaksasi kredit untuk dunia usaha yang kembali diperpanjang karena narasi besar atas potensi inflasi. Dengan pola pembiayaan yang lebih terukur dan dapat terkendali, dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas," kata Ajib.

Pada kesempatan lain, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kebijakan otoritas moneter menaikkan sekaligus 50 bps menyebabkan shock di pasar karena kenaikan begitu tinggi dan cepat.

Kenaikan harga BBM pada awal September 2022, telah menyebabkan sektor rill dan ekonomi publik porak poranda akibat inflasi terutama inflasi akibat kenaikan makanan minuman dan kenaikan administered priced. Kenaikan BBM 30,74 persen menyebabkan daya beli publik turun sekitar 5 persen dan inflasi diperkirakan sampai akhir tahun 2022 di level 8,0-9,5 persen.

Belum selesai beban inflasi karena kenaikan harga BBM, kini publik diwarnai dengan naiknya suku bunga BI. Dampak kenaikan BI rate di level 4.25 persen akan menaikkan suku bunga kredit sampai di level 9-11 persen.

Kenaikan tersebut sangat memberatkan para pengusaha dan debitur retail perbankan seperti pemilik KPR, pemilik kredit konsumsi termasuk pemilik kendaraan bermotor dan kartu kredit karena mereka harus menanggung biaya cost of fund yang tinggi.

Pertimbangan BI menaikan sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0±1 persen pada paruh kedua 2023 dinilai berlebihan. "Indonesia belum benar-benar pulih dari kemunduran ekonomi. BI sepertinya menggunakan cara lama untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak tertekan lebih dalam," kata Achmad.

Baca Juga: