JAKARTA - Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Indonesia meminta subsidi bahan bakar minyak (BBM) dialihkan untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Sebab, subsidi BBM selama ini habis dikonsumsi tanpa meninggalkan dampak positif bagi perekonomian nasional.

Sekretaris Jenderal DEM Indonesia, Robi Juandry, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan transisi energi dari energi fosil ke EBT harus menjadi agenda bersama. "Dana dengan jumlah besar untuk impor energi fosil, idealnya dapat digunakan antara lain untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT)," kata Roby.

Dengan paradigma berpikir seperti itu maka belanja energi fosil berbasis impor bisa ditekan bahkan dihilangkan dan beralih ke pemanfaatan energi berbasis alam yang tersedia dalam negeri.

Indonesia pun, jelasnya, bisa mengoptimalkan EBT menjadi energi listrik yang zero emission (rendah emisi karbondioksida). "Dari sini, kita bisa menghemat anggaran impor BBM sekaligus mendapatkan lingkungan dan udara yang bersih," kata Roby yang saat ini sedang study di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Riau.

Lambannya akselerasi EBT di Indonesia, paparnya, karena selalu dihadapkan pada alasan biaya investasi yang mahal. Padahal, anggaran untuk mengimpor dan subsidi BBM jauh lebih besar. "Bayangkan kalau dialihkan untuk membiayai dan mensubsidi EBT, rakyat Indonesia bisa mendapatkan energi yang murah sekaligus bersih. Stop sudah menggelontorkan subsidi untuk energi kotor yang harus impor," katanya.

Di sisi lain, DEM melihat besarnya potensi energi primer Indonesia yang berbasis EBT antara lain pada panas bumi, air, matahari, dan angin/bayu.

Kemauan Politik

Menurut kajian DEM Indonesia, situasi yang timpang saat ini akibat belum adanya political will atau kemauan politik dari pemerintah untuk beralih ke EBT, masih sebatas membangun wacana. Apalagi, perilaku masyarakat juga masih terlalu asyik dan menikmati energi fosil yang pasti akan habis dan tidak tergantikan.

"Kita terlalu asyik mengonsumsi BBM hingga harus mengeluarkan anggaran raksasa untuk impor dan mensubsidi BBM, yang sangat tinggi emisi karbonnya, EBT yang merupakan energi bersih seolah diterlantarkan," tegasnya.

Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, pada kesempatan lain mengatakan dunia saat ini sedang ribut bagaimana untuk meninggalkan minyak bumi, sedangkan di Indonesia masih ribut soal kenaikan harga BBM. "Era minyak bumi telah berakhir," kata Salamuddin.

Dia pun meminta pemerintah untuk segera mengubah skema subsidi dengan tidak lagi mensubsidi energi fosil.

"Subsidi energi fosil hanya menambah beban negara, selain menguras anggaran, juga tidak sesuai dengan upaya mengejar net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Subsidi sebaiknya dialihkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) mendukung transisi energi," kata Salamuddin.

Baca Juga: