» Pemerintah harus matimatian berpihak jangan sampai sektor riil yang produktif menjadi sekarat.

» Jangan takut dianggap melanggar WTO lagi, tidak relevan. Kondisi saat ini adalah force majeure. Negara harus dibangun supaya tidak colaps.

JAKARTA - Bank Indonesia menyatakan telah menambah likuiditas (quantitative easing) ke perbankan sebesar 93,42 triliun rupiah per 8 Juni 2021. Dengan penambahan tersebut, maka total likuiditas yang diinjeksi otoritas moneter ke pasar uang dan perbankan sejak tahun lalu sudah mencapai 819,99 triliun rupiah atau setara dengan 5,30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, baru-baru ini mengatakan selain menginjeksi likuiditas, otoritas moneter juga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana senilai 115,87 triliun rupiah untuk turut serta membiayai beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.

Menanggapi kebijakan moneter tersebut, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi yang diminta pendapatnya di Jakarta, Selasa (15/6) mengatakan injeksi itu akan terus berlanjut. Dan injeksi dana tersebut dipastikan banyak dimasukkan ke sektor properti dan konsumsi barang impor yang tiap tahun nilainya mencapai 15 miliar dollar AS, bukan untuk membiayai sektor produktif. Ini kesalahan yang terus berulang.

"Saat krisis 1998, bank salurkan dana yang diinjeksi itu ke sektor yang nonproduktif yaitu property sehingga harganya bubble (menggelembung-red) dan konsumtif yang impornya besar. Padahal penempatan ke sektor nonproduktif, tidak membuat uang berputar berulang kali," kata Badiul.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998 memperlihatkan betapa banyak pemilik bank yang menggunakan dana tersebut untuk pribadi, ada yang membiayai grup perusahaannya sampai 97 persen, padahal kredit ke grup ada batas maksimalnya sesuai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Belajar pada pengalaman masa lalu itu, seharusnya BI dan pemerintah tidak mengulang kesalahan sama karena Indonesia tidak mungkin bangkit, kalau intermediasi bank untuk sektor yang tidak produktif seperti ke properti dan barang konsumsi impor. Bank seharusnya membiayai sektor riil yang produktif.

"Jika pemerintah menempatkan satu rupiah, dana seharusnya kembali dalam bentuk pajak yang berlipat ganda, nah di situ pendapatan negara baru bisa naik tinggi dalam pajak produktif, bukan pajak konsumstif. Pajak konsumtif yang sekali ditarik dananya habis seperti pajak impor," kata Badiul.

Sebab itu, setiap rupiah pembiayaan dari APBN maupun perbankan harus dipastikan dananya akan berputar terus menerus di dalam negeri. Barang yang dikonsumsi harusnya bisa diproduksi di dalam negeri, sehingga menghemat devisa. Bahkan, kalau bisa produksi dalam negeri diekspor untuk menghasilkan devisa.

"Inilah yang disebut produktif, dihasilkan di dalam negeri, terutama pangan dan sandang. Kalau kita fokus pada industri dalam negeri, maka sektor pertanian nasional juga harus didukung Negara, tidak boleh dibiarkan mati dengan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," katanya.

Ekonomi Harus Tumbuh

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudisthira mengatakan rencana pengenaan PPN ke kebutuhan pokok itu keliru. Pemerintah hanya berupaya mengejar penerimaan pajak dari transaksi karena kebutuhan. Padahal, yang benar, pajak akan naik jika ekonomi tumbuh, sehingga otomatis tecermin dari naiknya Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

Anehnya lagi, banyak yang tidak produktif malah dibebaskan pajaknya, seperti royalti batubara, namun sektor seperti Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya dijanjikan, realisasinya belum.

Dalam upaya memulihkan ekonomi, pemerintah harus mati-matian berpihak ke sektor riil yang produktif agar tidak semakin banyak yang sekarat dan mati.

"Kalau banyak yang mati maka lapangan kerja makin banyak yang hilang, kita akan banyak menghabiskan devisa untuk impor, sehingga tidak akan bisa bangkit, sehingga upaya memulihkan ekonomi akan tertinggal oleh negara-negara lain," kata Bhima.

Lebih lanjut, Badiul mengatakan untuk bisa membangun kembali sektor riil yang sudah mati membutuhkan waktu 3-5 tahun atau bisa sampai satu masa jabatan kepemimpinan. Pemerintah katanya seharusnya memperkuat sektor riil dengan pendanaan, sistem perpajakan dan kebijakan yang proaktif membangun sektor riil dan sektor produktif.

Pemerintahan Presiden Jokowi setidaknya masih punya waktu tiga tahun untuk memperkuat sektor riil yang produktif sehingga Indonesia bisa menjadi lebih sehat, kuat, dan kemakmuran rakyat lebih merata. "Inilah waktu yang tepat untuk pemerataan dan mensejahterahkan rakyat. Jika tidak segera, maka tiga tahun ke depan, jurang ketimpangan akan semakin curam," katanya.

Untuk mempercepat pemerataan, maka harus dilakukan sekarang dengan mempertahankan industri dan usaha yang sudah ada di dalam negeri serta tidak dibiarkan sekarat, rusak, dan bangkrut.

Selain itu, juga penting memperkuat daya saing, agar produk tekstil nasional kompetitif, jangan kemahalan dan tidak laku. Apalagi dengan penurunan ekonomi dunia, negara produsen lainnya membanjiri pasar dengan barang murah yang penting bisa menghasilkan devisa.

Seiring dengan perubahan kata Badiul, pemerintah harus membangun sektor riil produktif yang baru, untuk membuka lapangan kerja dan penghematan devisa.

"Pemerintah harus mati-matian membantu sektor riil, kalau ini dilaksanakan mulai saat ini hasilnya akan luar biasa. Jangan takut dianggap melanggar WTO lagi, tidak relevan. Kondisi saat ini adalah force majeure. Negara harus dibangun supaya tidak colaps, pikirkan bagaimana untuk tidak mati," kata Badiul.

IMF sendiri tambahnya sadar kalau Covid-19 adalah bencana alam dan dia tidak bisa lagi mendorong negara berkembang seperti dulu untuk memberlakukan kebijakan kenaikan pajak dan pengetatan fiskal. Mereka sadar, itu formula lama yang mematikan, mirip orang sakit parah disuruh menyumbang darah dan diet sehingga mati.

Kondisi ini menuntut Indonesia agar fokus pada industri pangan dan sektor riil, tidak perlu memikirkan yang lain. Negara miskin akan semakin miskin dan tertinggal karena utang yang menggunung. Mereka harus diinfus atau ditambah darah, bukan sebaliknya diminta menyumbang darah.

Harus Berubah

Lembaga multilateral seperti IMF pun dituntut harus berubah dengan memberi asupan untuk bangkit, bukan membuat negara yang kesulitan semakin sakit dan mati karena harus sumbang darah dan diet.

Dia juga mengakui, banyak kalangan tidak setuju BI melakukan quantitative easing karena rupiah bukan dollar AS, sehingga itu sama dengan mencetak uang baru. Namun, langkah itu harus dilakukan untuk saat ini daripada mati.

Badiul juga meminta agar injeksi itu tidak boleh dilanjutkan bila sektor produktif tersebut mulai pulih. Sebab, kejahatan sistem ekonomi keuangan perbankan yang selalu memfasilitasi ketimpangan dan kesejahteraan rakyat sudah berjalan sejak 15 tahun lalu, sehingga harus berhenti sekarang. n ers/E-9

Baca Juga: