» Presiden Jokowi diharapkan bisa meninggalkan legacy baik dalam tata kelola pangan.

» Aparat negara belum sensitif dengan krisis yang seharusnya memperkuat belanja produk dalam negeri.

JAKARTA - Krisis pangan global memberi pelajaran berarti bagi pemerintah untuk tidak terlalu bergantung pada produk impor dan mengabaikan hasil pertanian lokal. Sebab, kebergantungan pada impor dan rendahnya produktivitas dalam negeri hanya akan membawa pada bencana kelaparan dan kekurangan gizi, terutama di negara-negara dengan penduduk yang padat.

Meluasnya ancaman kelaparan pun karena aksi proteksionisme dari negara-negara produsen semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memacu semangat para petani supaya lebih bergairah mengupayakan kemandirian pangan dengan mengatasi masalah yang menghambat produk lokal.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masyhuri, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus meninggalkan warisan kisah sukses dalam memulai ketahanan dan kedaulatan pangan di Tanah Air yang selama ini diabaikan pemimpin-pemimpin sebelumnya.

"Saat ini adalah waktu yang tepat karena dunia sedang terancam krisis pangan," kata Masyhuri.

Menurut dia, memang tidak ada negara di dunia yang bisa bebas dari impor. Namun, jika sangat tergantung pada impor akan berakibat fatal dan bisa membahayakan stabilitas nasional satu negara karena pangan adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda. Pangan adalah kunci utama kedaulatan negara.

Dari dulu, jelasnya, masalah pangan nasional itu karena keengganan untuk segera memulai peningkatan produksi nasional dengan strategi yang jelas. Makanya, saat dunia dilanda krisis pangan, dampaknya sangat terasa.

"Mau tidak mau, kita harus memikirkan kemandirian pangan. Presiden mesti meninggalkan legacy baik dalam tata kelola pangan. Jangan hanya Ibu Kota Negara (IKN), tapi pangan juga penting sekali. Kedelai bisa dijadikan sebagai produk momentum karena saat ini harganya mahal, sehingga relatif mudah mendorong petani menanamnya," kata Masyhuri.

Masyhuri mengatakan di tengah harga kedelai impor yang mahal maka seharusnya menjadi momentum percepatan swasembada kedelai di Tanah Air. Kampus sudah lama menghasilkan pupuk, bibit, dan teknologi untuk meningkatkan produksi kedelai. Hanya saja, perlu dorongan dari negara agar skala produksi bisa ditingkatkan.

"UGM punya bibit kedelai yang bagus, pupuk untuk kedelai yang bagus. Tinggal mau atau tidak pemerintah men-scale up-nya. Kalau petani pasti mau karena harga kedelai saat ini tinggi sekali," tandas Masyhuri.

Lebih Peka

Dihubungi terpisah, Peneliti Senior dari Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan selain membenahi dengan benar pada sisi hulu atau produksi, di sisi hilir pun harus ditata dengan baik.

Kalau Presiden dalam berbagai kesempatan sudah memerintahkan agar lebih memprioritaskan produksi dalam negeri ketimbang barang impor maka aparatur pemerintah harus meningkatkan kepekaan dan menyesuaikan dengan kebijakan yang mereka terapkan. Kalau saat ini ekonomi tengah berada dalam kondisi krisis, perlu dukungan kebijakan dengan mendahulukan produk dalam negeri.

"Ada problem nihilnya sensitivitas aparatur kita dalam mengelola dan menggunakan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN dan APBD) dalam situasi krisis. Mindset aparatur pemerintah kita saat membelanjakan uang negara seolah masih dalam zona aman dan dalam posisi normal-normal saja, seolah tidak sedang berada dalam situasi krisis," kata Surokim.

Aparat belum sensitif dengan lingkungan krisis yang seharusnya membutuhkan penguatan pada belanja produk dalam negeri. Padahal, ikhtiar itu menjadi alternatif penolong untuk menggerakkan ekonomi dan daya beli lokal dan nasional, khususnya mengungkit belanja produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

"Menggunakan belanja APBN dan APBD untuk membeli produk UMKM bisa menolong dan memantik serta mengungkit pertumbuhan ekonomi karena menggerakkan ekonomi lokal, apalagi saat investasi dan ekspor sedang tertekan," katanya.

Jika melihat belanja APBN dan APBD yang masih didominasi produk impor menunjukkan bahwa mindset solidarity dan sensitivitas untuk menolong produk dalam negeri masih rendah.

Baca Juga: