JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, seusai Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS di Jakarta, Senin (30/9), mengatakan beberapa risiko yang perlu dicermati ke depan antara lain penurunan aktivitas manufaktur global, eskalasi konflik geopolitik kawasan dan transisi pemerintahan di berbagai negara yang berpotensi mempengaruhi arah kebijakan ekonomi serta ekspektasi lanjutan pemangkasan suku bunga yang dapat mempengaruhi sentimen investor pasar keuangan.
"Kinerja penurunan manufaktur harus diantisipasi agar tidak berlanjut," kata Purbaya. Antisipasi itu sangat berganung pada kebijakan pemerintah ke depan, sehingga daya beli akan kembali meningkat dan otomatis kinerja manufaktur berangsur akan kembali ekspansi. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan Indonesia terlalu cepat mengalami demanufakturisasi. Hal itu terjadi di sektor jasa karena perkembangan teknologi informasi menyalib kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).
Peningkatan kontribusi sektor jasa terutama disebabkan oleh kemudahan dalam usaha yang membutuhkan modal tidak terlalu besar, teknologi tidak terlalu canggih, dan fleksilibitas penggunaan tenaga kerja. Sementara di bidang industri manufaktur, membutuhkan kapital dan tenaga kerja besar, teknologi lebih canggih, tanah yang luas, dan persyaratan lainnya.
"Demanufakturi sasi yang terlalu cepat menyebabkan nilai tambah yang dihasilkan tidak begitu besar, sehingga secara makro pendapatan dan daya beli masyarakat tidak terungkit dengan baik," tegas Suhartoko. Oleh karena itu, menurutnya, upaya manufakturisasi perlu dilakukan dengan memfasilitasi keberadaan kawasan industri, insentif pajak, kemudahan perizinan, jaminan keamanan berusaha, dan tidak kalah penting mempersiapkan tenaga terampil dari level bawah sampai atas.
Ketidakpastian Global
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY, Tim Apriyanto, menyatakan bahwa penurunan kinerja industri manufaktur di Indonesia perlu ditanggapi dengan langkah antisipasi yang serius dan tepat. Data terbaru menunjukkan bahwa Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di bawah angka 50, yang menandakan sektor ini memasuki fase kontraksi.
Sementara itu, sektor jasa masih menunjukkan ekspansi, namun perlu dicermati berbagai faktor penyebab penurunan ini. Apriyanto mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang memengaruhi kinerja manufaktur adalah rantai pasok global yang terganggu. Menurut Apriyanto, pemerintah perlu melakukan langkah debirokratisasi dan menyederhanakan regulasi yang saat ini dianggap menjadi penghambat kinerja industri.
"Perizinan di bidang industri, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), menjadi hambatan yang serius. Jika tidak disederhanakan, ini akan memperburuk kinerja industri dan memicu capital flight," tegasnya. Ia juga mengingatkan bahwa walaupun penurunan BI Rate pada 18 September lalu sebesar 0,25 persen dianggap dapat mendorong kredit, namun masih ada potensi terjadinya capital flight akibat penurunan Fed Rate sebesar 0,5 persen.