JAKARTA- Pada hari, Kamis (12/11) bertempat di lapangan udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan (Balitbang Kemhan) menggelar demo radar pasif. Jika tidak aral melintang, sebentar lagi Indonesia, khususnya TNI AU, bakal punya alat canggih untuk mendeteksi pesawat musuh yang nyelonong ke wilayah udara Indonesia.
Menurut Kepala Balitbang Kemhan (Kabalitbang Kemhan), Marsda TNI Julexi Tambayong dalam keterangan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Jumat (27/11), pengembangan radar pasif ini merupakan kerja sama antara Balitbang Kemhan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT LAPI ITB.
"Pengembangan demo radar pasif tahun 2020 ini adalah hasil kerja sama antara Balitbang Kemhan dengan PT LAPI ITB Bandung," katanya.
Sementara itu, Kabid Matra Udara Puslitbang Alpalhan Balitbang Kemhan Kolonel Bambang Edhie, mengatakan, radar pasif merupakan sistem perangkat pendeteksi target. Kerjanya sama seperti radar konvensional.
"Sebagai bagian dari elektronik warfare, radar pasif berperan penting dalam melakukan fungsi deteksi target menggunakan sinyal referensi atau sumber sinyal tertentu. Termasuk mengetahui lokasi sumber sinyal serta melakukan tracking," ujarnya.
Ahmad Izzuddin, salah satu perwakilan dari tim pengembangan teknologi radar pasif, mengatakan bahwa teknologi radar pasif yang sedang dibuat merupakan buah karya dari Kelompok Keahlian (KK) Teknik Telekomunikasi di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB (STEI ITB) bekerjasama dengan PT LAPI ITB dan Balitbang Kemhan. Penelitian teknologi radar ini dipimpin oleh Dr Joko Suryana.
"Teknologi radar ini untuk mendeteksi adanya pesawat asing yang melewati batas negara secara ilegal," katanya.
Izzuddin, menambahkan, desain radar dibuat dengan konsep transportable.
Sehingga bisa dibawa sampai ke wilayah terpencil tanpa perlu tambahan mobil pengangkut. Saat ini sistem tersebut masih dalam tahap pengembangan dan belum dikomersialkan. Namun telah diuji coba bersama dengan Kohanudnas atau Komando Pertahanan Udara Nasional.
"Radar sendiri merupakan singkatan dari Radio Detection and Ranging yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu radar aktif dan radar pasif," ujarnya.
Perbedaan dari kedua radar tersebut, lanjut Izzuddin terletak pada cara mendeteksi target. Radar aktif dapat memancarkan sinyal sendiri. Sementara radar pasif hanya berperan sebagai receiver atau penerima sinyal.
"Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sistem radar pendeteksi pesawat seperti ini tentu saja tidak singkat. Proses pembuatan sistem ini dimulai sejak tahun 2017 sampai 2020," kata dia. Total waktu selama empat tahun tersebut digunakan untuk pengujian sistem dan apabila telah berjalan dengan sempurna, maka di tahun 2020 radar tersebut sudah bisa digunakan," katanya.
Ia juga mengungkapkan kesulitan dalam merancang radar pasif. Kata dia, kesulitannya mungkin ada pada beberapa perangkat COTS yang harus dibeli dari luar negeri karena belum tersedia di Indonesia. Kemudian perangkat tersebut masih harus dikembangkan lagi di ITB.
"Karena apabila membeli langsung yang siap digunakan harganya sangat mahal. Tapi di sisi lain, ada bagian yang bisa tim kembangkan sendiri misalnya antena. Tim dalam proses pembuatan radar pasif tidak langsung membeli antena, namun tentunya memerlukan tahapan desain dan tes untuk menguji kemampuannya. Mungkin itu salah satu faktor kenapa waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem ini cukup lama," tuturnya.
Hambatan itu, menurutnya, jadi pemacu anak negeri untuk terus berkarya. Justru dengan tantangan yang ada, para mahasiswa dan akademisi di Indonesia bisa terus berkarya.
"Hingga akhirnya tidak perlu membeli perangkat dari luar negeri. Semua perangkat bisa didapatkan di Indonesia dan asli buatan Indonesia," kata Izzuddin. ags/N-3