JAKARTA - Lembaga pemerhati energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), menyarankan modifikasi (retrofit) PLTU batu bara agar bisa dioperasikan secara fleksibel. Hal itu karena pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sebesar proyeksi yang menyebabkan pasokan listrik berlebihan.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/6), mengatakan modifikasi akan menggeser peran PLTU yang semula berfungsi murni sebagai pembangkit beban dasar atau baseload menjadi dapat menyesuaikan keluaran pembangkitnya mengikuti intermitensi energi terbarukan sehingga membantu kestabilan jaringan listrik.

"Opsi ini dapat diterapkan sebelum akhirnya PLTU dihentikan secara permanen," kata Fabby.

Apabila pasokan energi terbarukan dapat memenuhi permintaan dan intermitensi melalui interkoneksi jaringan listrik, manajemen permintaan listrik melalui mekanisme pasar, dan penyimpan energi alternatif, PLTU fleksibel dapat dihentikan.

Berdasarkan kajian IESR, agar sistem kelistrikan Indonesia selaras dengan target Paris Agreement maka pada 2030 sekitar 47 persen energi listrik di Indonesia harus berasal dari pembangkit energi terbarukan.

Namun, tantangannya adalah kelebihan pasokan listrik pembangkit PLN yang mencapai 5 gigawatt membuat bauran energi terbarukan di sistem tidak dapat dinaikkan tanpa dilakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini atau menurunkan faktor kapasitas PLTU dengan melakukan mode operasi fleksibel.

Fabby menilai rencana pemerintah dan PLN untuk melakukan pensiun terhadap 5 gigawatt PLTU dan mengganti 3,7 gigawatt dengan pembangkit energi terbarukan memberikan sedikit harapan.

"Langkah ini perlu dilengkapi dengan pengoperasian PLTU yang lebih fleksibel untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan," tegasnya.

IESR memandang pengoperasian PLTU yang fleksibel merupakan hal yang secara teknis dapat dilakukan di Indonesia. PLTU di Indonesia didominasi PLTU subkritikal, sehingga bisa mencontoh praktik operasi fleksibel PLTU di negara lain yang umumnya juga diterapkan di PLTU subkritikal.

Selain itu, PLTU di Indonesia umumnya berusia muda (0-22 tahun) dengan rata-rata umur sembilan tahun. Sekitar 55 persen berada di luar Jawa- Madura-Bali (Jamali) dan pulau Sumatera, dan sekitar 34 persen berada di Jamali dan Sumatera.

"Modifikasi PLTU berusia muda untuk beroperasi secara fleksibel dapat menjadi pilihan yang lebih baik karena tidak memerlukan investasi yang mahal, bahkan bisa tanpa biaya, dibandingkan memodifikasi PLTU yang berusia tua," kata Fabby.

Pihaknya pun mendorong pemerintah melakukan pemetaan pembangkit listrik menurut kelompok usia untuk menyiapkan rencana operasi PLTU yang fleksibel. Rencana tersebut perlu diintegrasikan dengan target bauran energi terbarukan yang lebih besar.

Pengurangan Beban Minimum

Dalam kajiannya IESR, modifikasi operasi PLTU yang fleksibel dapat difokuskan pada pengurangan beban minimum PLTU dari 50 persen menjadi 30 persen, peningkatan kemampuan PLTU untuk menanggung loncatan beban secara cepat sebanyak dua kali lipat dari biasanya, serta mempercepat waktu menghasilkan uap (startup) dari 2-10 jam menjadi 1,3-6 jam.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, juga sepakat dengan modifikasi PLTU batu bara secara fleksibel untuk optimalisasi energi terbarukan sehingga tata kelola kelistrikan berbasis teknologi bersih lebih optimal.

Baca Juga: