KHATMANDU - Pada suatu pagi yang sangat dingin di awal Januari, di suatu lokasi dekat kota Tokmak di wilayah Zaporizhzhia, Ukraina, Bimal Bhandari bersama seorang rekan senegaranya memulai perjalanan berisiko untuk meninggalkan unit pasukan Rusia yang pernah bertugas bersamanya. Warga negara Nepal berusia 32 tahun itu telah berjuang untuk Kremlin melawan Ukraina.

Dilansir oleh Al Jazeera, kedua pria tersebut paham bahwa melarikan diri dari pasukan Rusia adalah tindakan yang berbahaya, namun mereka menyimpulkan bahwa risiko tersebut sepadan, jika dibandingkan dengan peluang mereka untuk tetap hidup sebagai tentara dalam perang biadab inisiatif Moskow itu.

Awalnya Bhandari berhubungan dengan agen Nepal di Rusia melalui seorang kerabat. Agen tersebut dan penyelundup manusia lainnya berjanji bahwa mereka dapat merancang rencana pelarian: Dengan masing-masing membayar 3.000 dolar AS, kedua tentara Nepal tersebut akan keluar.

Tiga hari setelah Bhandari dan temannya membagikan lokasi mereka, saat fajar menyingsing seorang pria yang berbicara bahasa Hindi datang bersama seorang sopir dan kendaraan, menjemput mereka dan menurunkan mereka di tempat yang tidak diketahui. Menurut para penyelundup, mereka berada di dekat perbatasan Rusia-Ukraina.


Pria itu mengatakan kepada mereka bahwa petugas akan menunggu untuk membantu mereka begitu mereka menyeberang ke "sisi lain".

Dalam suhu minus 19 derajat Celcius dan waktu sekitar tujuh jam, Bhandari dan temannya harus berjalan dalam salju setinggi lutut sejauh 17 kilometer. Karena kelaparan dan kedinginan, mereka menelepon para penyelundup, dan hanya disuruh menunggu selama 40 menit hingga seseorang menjemput mereka.

Itu tiga jam sebelum kendaraan akhirnya tiba. Namun tidak ada penyelamatan. Sebaliknya, tim patroli perbatasan Rusia memborgol mereka dan membawa mereka ke dalam kendaraan. Mereka dipenjara selama sehari, paspor mereka disita sebelum Bhandari dibawa ke fasilitas kesehatan karena menderita hipotermia.

"Itu adalah satu-satunya kesempatan kami untuk melarikan diri dari perang brutal ini dan kami gagal," katanya kepada Al Jazeera, dari ranjang rumah sakitnya.

"Saya tidak ingin pulih, begitu saya membaik, saya akan dipaksa ke garis depan."

Ketakutan serupa juga menyelimuti puluhan, bahkan ratusan warga Nepal lain yang senasib. Meskipun pemerintah Nepal tidak mengetahui jumlah pasti warga negaranya yang berperang sebagai tentara bayaran untuk Rusia, beberapa analis yakin jumlahnya mungkin mencapai seribu. Setidaknya 12 warga Nepal tewas dalam pertempuran itu, dan lima lainnya ditangkap oleh Ukraina.

Pemerintah Nepal sedang bernegosiasi dengan Rusia secara diplomatis untuk pemulangan warga negaranya dan jenazah orang yang meninggal, keluarga warga sipil yang menjadi tentara bayaran mulai kehilangan kesabaran. Pada hari Selasa (6/2), keluarga-keluarga tersebut berdemonstrasi di luar kedutaan Rusia di Kathmandu, menuntut agar kerabat mereka dipulangkan, jenazah dipulangkan, perekrutan baru dihentikan dan kompensasi ditawarkan bagi mereka yang tewas dalam pertempuran.

Hal ini jauh dari harapan dan janji hidup di Eropa yang pertama kali menarik banyak calon anggota militer ke pihak Moskow.

Terobosan

Atit Chettri, 25 tahun dari Surkhet di Nepal barat, memimpikan kehidupan di Eropa. Dia mengincar Portugal. Namun dia tidak memiliki jalur masuk ke benua tersebut, sampai bulan Oktober lalu dia melihat video TikTok tentang warga Nepal yang direkrut untuk tentara Rusia dan langsung mengajukan permohonan informasi lebih lanjut.

Dalam beberapa menit, dia mendapat pesan langsung dari agen dengan rincian kontak. Agen tersebut meminta bayaran 9.000 dolar AS dan menjanjikan gaji sekitar 3.000 dolar AS per bulan, beserta fasilitas dan bonus, serta kewarganegaraan Rusia untuk Chettri dan keluarganya.

Bagi seorang pengangguran, hal ini tampak seperti tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Chettri menerima tawaran itu dan empat hari kemudian, dia mendapatkan visa turis Rusia dan tiket ke Moskow melalui Dubai yang dipesan untuk 21 Oktober 2023.

Itu adalah penerbangan pertama Chettri ke luar negeri. "Agen tersebut meminta saya untuk meneleponnya jika saya memiliki masalah di imigrasi. Otoritas imigrasi menghentikan saya untuk sementara waktu, tetapi segera melepaskan saya setelah saya menelepon agen saya," kata Chettri kepada Al Jazeera di Ostrykivka, sebuah desa dekat Tokmak.

Bhandari, yang ditawari kesepakatan serupa, terbang ke Rusia pada 19 Oktober. Dia pernah tinggal di Kuwait selama enam tahun sebelumnya tetapi tidak pernah berhasil menabung cukup uang untuk mengangkat keluarganya keluar dari kemiskinan. Pendapatannya digunakan untuk membayar bunga pinjaman yang dia ambil untuk pergi ke Kuwait.

Karena frustrasi, dia kembali ke Nepal dan bekerja sebagai sopir truk ketika ada kesempatan untuk berperang demi Rusia. "Kondisi ekonomi keluarga saya sangat memprihatinkan, jadi saya pikir ini akan menjadi terobosan yang baik" kata Bhandari.

Dia juga terhubung dengan para agen penyelundup melalui TikTok. Mereka menjalankan travel perjalanan di depan kedutaan Rusia di Kathmandu. Dalam perjalanannya ke Moskow melalui Dubai, Bhandari mengatakan, dia bertemu dengan hampir 30 warga Nepal yang menunggu untuk naik pesawat ke Rusia, beberapa di antaranya melakukan perjalanan dari Kathmandu, sementara yang lain adalah pekerja migran Nepal yang sudah berada di Timur Tengah.

Ketika mendarat di Moskow dia diterima oleh agen lokal, juga warga Nepal. "Saya diarahkan oleh agen Kathmandu untuk memberinya 1.200 dolar AS pada saat kedatangan. Dia mengantar saya ke toilet di bandara, dan saya memberinya uang," kata Bhandari.

Dia kemudian diturunkan di kamp perekrutan di mana dia menandatangani kontrak satu tahun untuk berperang sebagai tentara.

Seperti Bhandari, Bharat Shah yang berusia 36 tahun tidak dapat menolak tawaran tersebut. Di Nepal, ia bekerja sebagai polisi lalu lintas sebelum berangkat ke Dubai, di mana ia mendapat penghasilan 2.400 dirham (650 dolar AS) sebulan. Jadi dia langung setuju ketika ada tawaran 3.000 dolar AS sebulan untuk berperang demi Rusia.

"Saya berkali-kali mengatakan kepadanya untuk tidak pergi ke Rusia. Dia mengatakan ini adalah kesempatan besar untuk menghasilkan lebih banyak uang dan kemudian menetap di sana bersama keluarganya," ungkap ayahShah, Kul Bahadur Shah kepada Al Jazeera melalui telepon dari Kailali, Nepal barat.

Awalnya, "peluang" itu tampaknya membuahkan hasil. Shah mengirim kembali 250.000 rupee Nepal (sekitar 1.900 dolar AS), setelah pergi ke Rusia.

Namun dia terbunuh dalam pertempuran pada tanggal 26 November. Di rumah, istrinya kini harus sendirian merawat putra mereka yang berusia empat tahun dan seorang putri berusia dua bulan yang tidak pernah dilihatnya.

'Kami seperti tameng mereka'

Para rekrutan mengatakan, mereka hampir tidak menerima pelatihan apa pun sebelum dikirim untuk berperang. Meskipun para penyelundup manusia telah meyakinkan warga sipil ini untuk mendapatkan program pelatihan penuh selama tiga bulan, mereka menerima latihan tempur kurang dari sebulan di wilayah Rostov di barat daya Rusia yang berbatasan dengan Ukraina. "Saya hanya melihat senjata dari kejauhan, saya belum pernah memegangnya sebelumnya," kata Chettri.

Tentara lainnya, Ratna Karki, 34 tahun, terluka dalam pertempuran dan saat ini dirawat di rumah sakit. Menurut Karki, petugas di unitnya kebanyakan mengirimkan pejuang Nepal, Tajikistan, dan Afghanistan ke garis depan. "Rusia baru saja memerintahkan kami dari belakang. Kami seperti tameng mereka," katanya.

Sebelum Bhandari ditugaskan ke batalionnya, dia mengira akan menjadi bagian dari pasukan cadangan Rusia karena dia tidak memiliki keterampilan perang apa pun. "Mereka (komandan Rusia) bahkan menyuruh kami pergi dan menginspeksi wilayah musuh yang sangat membahayakan," kata Bhandari.

"Saya telah membunuh begitu banyak orang, kalau tidak mereka akan membunuh saya," katanya.

"Kita harus siaga, bisa kapan saja, siang atau malam. Saat mereka memberi perintah, kita harus pergi ke medan pertempuran," kata Chettri.

"Terkadang kami harus menghabiskan sepanjang malam di bunker."

Berbeda dengan Bhandari yang ditahan saat mencoba melarikan diri, Ram Chandra Shrestha cukup beruntung bisa lolos.

Shrestha, mantan tentara Angkatan Darat Nepal, dan tiga temannya masing-masing membayar 2.000 dolar AS kepada penyelundup manusia untuk keluar dari Ukraina dan melintasi perbatasan ke Rusia. Dia kemudian mencapai Moskow dan melakukan perjalanan ke Kathmandu melalui New Delhi pada bulan Desember. "Banyak lagi yang mencoba melarikan diri, namun gagal. Sekarang Rusia juga memperketat kewaspadaan mereka, sehingga sangat sulit untuk melarikan diri," kata Shrestha.

Horor

Tiga bulan setelah perang, Bhandari belum dibayar satu kali pun, sementara Chettri hanya menerima kurang dari setengah dari apa yang dijanjikan.

Para pejuang Nepal dan keluarga mereka mendesak pemerintah mereka untuk turun tangan, sehingga para anggota baru tersebut dapat kembali ke negara mereka.

"Kami berkomunikasi secara teratur dengan pemerintah Rusia, dan telah meminta mereka untuk memberikan daftar nama orang Nepal yang direkrut, untuk memulangkan mereka dan segera mengirim jenazah." Amrit Bahadur Rai, juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan kepada Al Jazeera.

"Kami juga mendesak mereka untuk memberikan santunan kepada keluarga almarhum".

Namun, pemerintah Rusia belum menanggapi permintaan tersebut secara terbuka. Kedutaan Besar Rusia di Kathmandu tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Kul Bahadur Shah sudah menyerah menunggu jenazah putranya, namun masih menunggu ganti rugi. "Teman-temannya mengatakan kami akan menerima kompensasi setidaknya 45.000 dolar AS dan janda serta anak-anaknya juga akan menerima izin tinggal, pendidikan, dan hak istimewa negara dari Rusia," katanya.

Kembali ke Ukraina, Bhandari bahkan tidak peduli lagi dengan uang. "Aku ingin kembali ke rumah," katanya.

"Ketika saya berbicara dengan keluarga saya, saya katakan saya aman, agar mereka tidak khawatir. Tapi ini mengerikan, saya bisa mati kapan saja."

Baca Juga: